TAFSIR DAN TAKWIL Al-QUR'AN
1. Pendahuluan
Al-Qur'an
seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi
manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai
versinya Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang
melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu
membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari
kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah, hukum, politik,
ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk ilahi
untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia,
dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha
manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang
dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam upaya
penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan
kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan.
Dialektika
antara manusia dengan realitasnya ditengarai turut masuk mempengaruhi
proses penafsiran itu. Bukankah Al-Qur'an diturunkan bagi manusia, untuk
kemaslahatan manusia dan last but not least, untuk "memanusiakan"
manusia (bukan menjadikannya makhluk otomatis seperti robot, mesin,
hewan ataupun malaikat).
Maka dari diktum itu pulalah, konsep
tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan
ubudiyyah di muka bumi menjadi penentu yang determinan dalam proses
mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan
kesejahteraan bagi umat manusia. Akan tetapi, posisi sentral manusia
yang oleh peradaban Barat menjadi tema utama abad pencerahan juga bukan
tanpa cela dalam sudut pandang Islam. Manusia dalam kacamata Islam tidak
lah hidup dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dan terkungkung dalam
dunia yang profan ini. Falsafah hidup Islam tidak mengenal mazhab
sekularisme yang memisahkan manusia dari dimensi keilahian dan melucuti
aspek moral dan nilai dari kegiatan manusia. Falsafah hidup Islam
menggariskan bersatunya nilai agama dan dunia, kehidupan manusia untuk
misi khilâfah/'imârat al-ardl (keduniaan) dan ubûdiyyah (keakhiratan).
Prinsip-prinsip tersebut yang senantiasa harus diindahkan ketika kaum
muslim berinteraksi dengan Al-Qur'an.
Dewasa ini pola interaksi
kaum muslim dengan Al-Qur'an bukan hanya bercorak hudâ'iy, ijtimâ'iy dan
ishlâhiy (mencari petunjuk untuk kebahagiaan), tetapi juga 'ilmiy
(dalam pengertiannya yang luas mencakup intellectual exercise, tidak
hanya mencari pembenaran teori-teori sains dengan landasan ayat suci
Al-Qur'an). Bahkan cenderung filosofis murni dan tak ada kaitannya
dengan misi transformatif yang menjadi ciri utama kehadiran Al-Qur'an di
pentas kehidupan manusia.
Hal ini bisa dilihat terutama dari kecenderungan (ittijâhât) upaya penafsiran dan penakwilan kitab
Aris Nurbawani, Tugas Ulumul Qur'an dan Hadits ~ STAIL PP Hidayatullah Surabaya, 2006 1
suci
yang terseret ke dalam diskusi panjang apakah manusia secara umum
sebagai pembaca dan penafsir teks merupakan makhluk historis atau
filosofis, makhluk yang setiap saat berubah (sesuai dengan pengayaan
pengalaman idup) atau yang konstan.
Sejauh mana posisi dan peran
manusia dalam proses penafsiran, apakah tugasnya hanya menganalisa dan
kemudian menerima otoritas tafsir di era pembentukannya ataukah hanya
melibatkan pengetahuan dan pengalaman penafsir/pembaca teks sebagai
barometer dan menganggap penafsiran otoritas di masa lalu hanya berlaku
untuk saat itu (historisitas)? Apakah tugas penafsir kitab suci
diarahkan semata untuk menangkap maksud pemilik dan pencipta teks
ataukah justru bebas menciptakan maksud dan makna baru seiring dengan
jarak waktu yang memisahkan antara pengarang dan pembaca teks, bahkan
"kematian" pengarang dianggap
"berkah" untuk melahirkan makna-makna segar yang tidak terkungkung oleh kehendak dan maksud pengarangnya?
Makalah
berikut ini sekadar mengingatkan kembali apa itu pengertian tafsir dan
takwil dan apa perbedaannya. Hal-hal apakah yang diperlukan dalam
melakukan tafsir.
2. Pengertian
a) Tafsir
Tafsir berasal dari kata tafsirah, yaitu : perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui orang sakit.
Tafsir menurut bahasa adalah “menerangkan dan menyatakan”.
Sedang menurut istilah adalah : Al Kilby dalam At Tas-hiel:
“Tafsir
itu, ialah: mensyarahkan Al-Qur'an, menerangkan maknanya dan
menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan
isyaratnya, ataupun dengan najuahnya.”
Az Zarkasyi dalam Al Burhan :
“Tafsir itu, ialah : menerangkan makna-makna Al-Qur'an dan mengeluarkan hukum- hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
b) Takwil
Menurut As Said al Jurjany :
Aris Nurbawani, Tugas Ulumul Qur'an dan Hadits ~ STAIL PP Hidayatullah Surabaya, 2006 2
“Takwil
ialah : memalingkan lafad dari makna yang dhahir kepada makna yang
muhtamil, apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan
Al-Qur'an dan As- Sunnah.”
Takwil berasal dari kata “aul”, yang bermakna kembali dan berpaling.
Menurut Al Maghraby dalam bukunya Al Akhlaq wal Wajibat :
“Tafsir
itu ialah : tersembunyi makna ayat sebagian pendengar, maka apabila
engkau syarahkan lafad-lafadhnya dari jurusan lughat, nahwu dan
balaghah, difahamkan oleh pendengar itu dengan baik dan tenanglah
jiwanya kepada makna tersebut. Adapun Takwil, ialah : ayat mempunyai
beberapa makna yang semuanya dapat diterima. Maka setiap-tiap engkau
sebut sesuatu makna satu demi satu makna, dia ragu-ragu, tak tahu mana
yang dipilihnya. Karena inilah takwil itu banyak dipakai pada ayat
mutasyabihat, sedang tafsir banyak dipakai pada ayat-ayat muhkamat”
Ilmu
Tafsir , ialah : ilmu yang menerangkan tentang hal nuzul ayat,
keadaan-keadaannya, kisah- kisahnya, sebab-sebab turunnya, nasikhnya,
'amnya, muthlaqnya, mujmalnya, mufassarnya
(mufashshalnya), halalnya, haramnya, wa'adnya, wa'idnya, amernya, nahyunya, i'barnya dan amsalnya.
Menurut Abu Haiyan dalam Bahrul Muhith :
“Ilmu
Tafsir : suatu ilmu yang dibahaskan di dalamnya cara menuturkan
(menyembunyikan) lafad-lafad Al-Qur'an, mad-lul-mad-lulnya baik mengenai
kata tunggal maupun mengenai kata- kata tarkib dan makna-maknanya dan
dipertanggungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi
yang demikian seperti mengetahui naskh, sebab nuzul, kisah yang
menyatakan apa yang tidak terang (mubham) di dalam Al-Qur'an dan
lain-lain yang mempunyai hubungan rapat dengannya”
3. Pokok Pegangan dalam Menafsirkan Al-Qur'an
Pokok pegangan dalam menafsirkan Al-Qur'an adalah :
a) Hadits dan Atsar
b) Qaidah-qaidah bahasa Arab dan uskub-uslubnya.
Seseorang
yang hendak menafsirkan sesuatu ayat Al-Qur'an, hendaklah ia mencari
tafsir ayat tersebut di dalam Al-Qur'an sendiri. Karena seringkali
ayat-ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, sedang penjelasannya
terdapat ditempat lain. Yakni hendaklah Ayat itu lebih dahulu
ditafsirkan dengan ayat Al-Qur'an sendiri. Jika tidak ada baru diperiksa
As Sunnah atau Al Hadits. Jika tidak ada lagi baru dicari dalam
keterangan dari para sahabat.
Aris Nurbawani, Tugas Ulumul Qur'an dan Hadits ~ STAIL PP Hidayatullah Surabaya, 2006 3
Kata
Az Zakarsyi : “ Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur'an, hendaklah
lebih dahulu memahami riwayat, lalu mengambil mana yang shahihnya.
Sesudah itu hendaklah ia memeriksa perkataan sahabat. Kemudia dari itu
barulah ia berpegang kepada ilmu bahasa dan barulah ia menafsirkan
menurut makna-makna yang dikehendaki oleh ilmu bahasa itu“
4. Ilmu-ilmu yang Diperlukan oleh Seorang Penafsir
a) Lughat Arabiyah (bahasa Arab) : dengan dialah diketahui syarah kata-kata tunggal.
b)
Gramatika bahasa Arab : yaitu undang-undang (aturan-aturan) baik
mengenai kata-kata tunggalnya, maupun mengenai tarkib-tarkibnya.
Tegasnya mengetahui ilmu tashrif dan ilmu nahwu.
c) Ilmu Ma'ani,
Bayan dan Badi'. Dengan ilmu ma'ani diketahui khasiyat-khasiyat susunan
pembicaraan dari segi memberi pengertian. Dengan ilmu bayan, diketahui
khasiyat- khasiyat susunan perkataan yang berlain-lainan. Dengan ilmu
badi', diketahui jalan-jalan keindahan pembicaraan.
d) Dapat
menentukan yang mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat
mengetahui sebab nuzul dan nasakh. Penjelasan-penjelasan ini diambil
dari hadits.
e) Mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusush, itlaq,
taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan dan yang sepertinya. Ini
diambil dari ushul fiqh.
f) Ilmu Kalam.
g) Ilmu Qira'at.
Dengan Qira'at dapat diketahui bagaimana kita menyebut kalimat-kalimat
Al- Qur'an dan dengan dialah kita dapat tarjihkan sebagian kemuhtamilan
atas sebagiannya.
5. Metode Tafsir
a) At Tafsir Bil Ma'tsur (At Tafsir bin Manqul)
Penafsiran
Al Qur'an dengan berdasarkan dengan penjelasan yang diriwayatkan yaitu
berupa ayat Al-Qur'an sendiri, dengan hadits atau dengan pendapat para
sahabat.
Di antara tafsir-tafsir bil Ma’tsur adalah : Tafsir
Jami'ul Bayan, Susunan Ibnu Jarir Ath Thabary, Tafsir Al Bustan, susunan
Abul Laits As Samarqandy, Tafsir Ma'alimut Tanzil, susunan Al Baghawy,
Tafsir Al-Qur'anul 'Adzim, susunan Al Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir As
babun Nuzul, susunan Al wahidy, Tafsir An Naskh wal Mansukh, susunan Abu
Ja'far An Nahas, Tafsir Ad Durrul Mantsur fit tafsir bil Ma'tsur,
susunan As Sayuthy, Tafsir Baqy makhlad
b) At Tafsir Bir Ra'yi wal ijtihad (At Tafsir bil Ma'qul)
Penafsiran
dengan berdasarkan pada ijtihad dan akal, berpegang kepada
kaedah-kaedah bahasa dan dan adat-istiadat orang Arab dalam
mempergunakan bahasanya.
Diantara tafsir-tafsir bil Ma'qul :
Tafsir Anwaru Tanzil wa Asrarut Takwil, susunan Al Baidhawy, Tafsir
Mafatihul Ghaiby, susunan Fakharuddin Ar razy, Tafsir Irsyadul Aqlis
Salaim, susunan Abu Su'ud Al Imady, Tafsir Ghara-ibul Qur'an wa
Taghaibul furqan, susunan Nizamuddin bin Muhammad An Naisabury, Tafsir
Jalalain, susunan Jalaludin Muhammad Al Mahaly dan Jalaluddin, Muhammad
As Sayuthy, Tafsir Madarikut Tanzil Wa Hasqa-iqut takwil, susunan An
Nasafi, Tafsir As Sirajul Munir, susunan Al Khatib Asy Syaibiny, Tafsir
Ruhul Ma'ani, susunan Syihabuddin al Alusy, Tafsir Fathul Qadir, susunan
Al Imam as syaukany, Tafsir Fathul bayan, susunan Siddiq Hasan Khan,
6. Tafsir di Masa Nabi, Masa Sahabat dan Para Tabi'in
Al-Qur'an
diturunkan dalam bahasa Arab, menurut uslub-uslubnya. Seluruh lafad
Al-Qur'an adalah bahasa Arab asli, terkecuali beberapa kata yang berasal
dari bahasa lain yang telah menjadi bahasa Arab, serta dipakai pun
menurut uslub bahasa Arab sendiri.
Rasulullah Saw, setiap menerima
ayat Al-Qur'an langsung menyampaikan kepada para sahabat serta
menafsirkan mana yang perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah Saw itu
ada kalanya dengan Aris Nurbawani, Tugas Ulumul Qur'an dan Hadits ~
STAIL PP Hidayatullah Surabaya, 2006 5
Sunnah Qauliyah, ada kalanya dengan Sunnah Fi'iliyah dan ada kalanya dengan Sunnah Taqririyyah.
Kata Abdur Rahman As Salamy :
“Orang-orang
yang mengajarkan kami Al-Qur'an, seperti Usman ibn Affan, Abdullah ibn
Mas'ud dan lain-lain menerangkan kepada kami bahwasanya apabila mereka
mempelajari dari Nabi sepuluh ayat Al-Qur'an, mereka tidak mempelajari
ayat-ayat yang lain dahulu sebelum mereka mempelajari ayat-ayat yang
sepuluh itu. Mereka berkata : Kami nukilkan dari Rasulullah Saw Al-
Qur'an, ilmu dan amal.”
Untuk mengetahui tafsir terhadap
sesuatu ayat yang belum bisa dipahami oleh para sahabat, maka sahabat
tersebut bertanya langsung kepada Rasulullah Saw.
“Berkata 'Ali :
Aku bertanya kepada Nabi tentang makna yaumul hajjil akbar. Maka Nabi
menjawab : Yaumun nahri (hari menyembelih kurban). Maka akupun
menafsirkan yaumul hajjil akbar dengan tafsir yang diberikan oleh Nabi
kepadakau itu.”
Para shabat pada umumnya tidak menulis tafsir
(hadits-hadits tafsir) sebagaimana mereka tidak menulis dan tidak
mendewankan umum hadits. Karena mereka takut tercampur baur antara Al-
Qur'an dengan tafsir tersebut.
Secara umum para sahabat
menafsirkan Al-Qur'an menurut penerangan riwayat semata, yakni menurut
hadits yang mereka terima. Manafsirkan Al-Qur'an dengan berpegang pada
kaedah- kaedah bahasa dan kekuatan ijtihad pada masa sahabat, masih
belum umum dilakukan.
Tafsir Bir Ra'yi wa ijtihad berkembang
setelah masa sahabat. Walaupun dalam kalangan tabi'in sendiri juga ada
dua golongan yaitu yang menerima dan menolaknya. Diantara tabi'in yang
menolak dasar ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur'an ialah Sa'id ibnul
Musaiyah dan Ibnu Sirin.
Berkata Sa'id : “Bahwasanya aku tiada mau mengeluarkan pendapatku barang sedikit juga dalam menafsirkan Al-Qur'an”
Di antara yang membolehkan ialah : Mujahid, 'Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
7. Perkembangan Tafsir Pada Abad 20-21
Dunia
pemikiran muslim telah kehilangan world view dan jati dirinya ketika
berhadapan dengan dunia pemikiran Barat yang notabene hegemonik dan kuat
baik secara program/agenda maupun funding untuk tujuan ekspansinya.
Sadar atau tidak elit muslim telah masuk dalam agenda dan propaganda
Barat bahwa budaya, teknologi dan metodologi Barat lebih unggul dan
karena itu mesti digugu dan ditiru. Yang paling mengkhawatirkan adalah
peniruan terhadap metodologi Barat di bidang Humaniora (sastra,
psikologi, sosiologi, antropologi, dll) yang terbukti membawa arus
sekulerisme yang tidak sesuai dengan falsafah hidup Islam. Ide dan
pemikiran untuk mencari-cari aspek kesamaan-kesamaan (Fikr al-Muqârabât)
antara metodologi Barat dan Islam di bidang kajian humaniora (sastra
dan sejarah agama secara khusus, yang terkuak jelas dalam kasus
hermeneutika) menjadi trend pada dekade akhir abad 20 dan awal abad 21
ini. Dalam kajian Al- Qur'an, fikr al-muqârabât antara tafsir (terlebih
khusus lagi takwil) dengan hermeneutika yang berkembang di Barat (baik
dalam studi biblikal/teologis maupun filsafat sastra secara umum)
menjadi tak terelakkan.
Jika pemahaman takwil klasik diartikan
sebagai upaya pencapaian makna ayat suci dengan mengandalkan usaha
rasional dan dengan cara menundukkan teks di bawah pengaruh prapikir
seorang penafsir/pembaca teks, maka takwil dalam pengertiannya yang
mutakhir memberikan dan menjamin ruang interaksi yang aktif antara objek
teks dengan subjek pembacanya. Jika takwil hermeneutis mengandaikan dua
tahap gerakan dalam proses penafsiran yaitu: pertama, kembali ke masa
pembentukan teks dengan menyelidiki arti kosakata pada saat itu dan
meletakkannya pada kondisi-kondisi objektifnya yang historis dan kedua,
kembali kepada bahasa teks ketika penafsir menghadapi kesulitan untuk
meletakkan teks tersebut ke dalam kondisi historisnya secara sempurna
yang disebabkan oleh karena masing-masing pembaca memiliki sudut pandang
khusus dalam proses pentakwilan. Di sinilah bahasa teks berperan untuk
memproduksi makna baru. Dalam persepsi aliran ini pluralitas pemahaman
akibat proses penakwilan tersebut tak terelakkan (Ahmidah al-Nayfar:
al-Qur'an wa al-Insan Wajhan li Wajhin).
Salah satu bahasan yang
cukup pelik adalah ketika Al-Qur'an sebagai risalah/pesan petunjuk Allah
Swt untuk manusia dihadapkan dengan terma hermeneutika yang
memperlakukan semua jenis teks (baik sastra, filsafat, atau
teologis/suci) secara sama dan sederajat. Lebih menukik lagi, apakah
Al-Qur'an merupakan risalah teologis ataukah diskursus bahasa?
Amin
Al-Khuli, tokoh yang pertama kali mencetuskan Manhaj Bayani dalam
kajian Al-Qur'an yang dalam beberapa aspek sangat dipengaruhi konsep
hermeneutika Barat, sejak dini sudah mewanti-wanti "Sejak awal sampai
akhir, upaya melucuti Al-Qur'an dari petunjuk syari'ahnya akan
melumpuhkan sebagian besar aturan yang berupa aqidah dan syariah. Karena
meski pada dasarnya Al-Qur'an sebagai wujud/fenomena bahasa, tetapi ia
juga merupakan risalah ilahi di bidang akidah dan syariah" (Dâ'irat
al-Ma'ârif al-Islâmiyyah: vol 2/266).
8. Kesimpulan
Menjadi
keharusan bagi mufasir untuk mempertimbangkan, dalam setiap upaya
pendekatan ilmiahnya terhadap Al-Qur'an, fakta bahwa nash Al-Qur'an
adalah sabda Tuhan (Muhammad Abu Musa: Min Asrâr al-Ta'bir al-Qur'aniy).
Upaya penafsiran atau pendekatan ilmiah apapun terhadap Al-Qur'an
selalin menuntut kompetensi intelektual para pelakunya juga mengundang
ketawadluan mentalitas dan spiritualitas penafsir. Keagungan Allah SWT,
tujuan-tujuan syariat dan hikmah serta kemutlakan ilmu-Nya senantiasa
mengiringi dan menyinari proses penakwilan agar tidak terperosok ke
dalam jebakan filsafat positivisme yang menyampingkan dimensi metafisik
teks kitab suci dalam petualangan untuk profanisasi kitab suci yang
sakral.
Umat Islam sudah waktunya untuk kembali kepada
ajaran-ajaran Rasulullah Saw dan teladan para sahabat dan para tabi'in
dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an. Dengan mengembalikan tujuan
penafsiran pada jalur yang benar bukan berdasarkan keegoan intelektual
semata. Umat Islam harus berani untuk menujukkan jati dirinya dengan
segala pemikiran-pemikiran dan amal perbuatannya yang tetap konsisten
terhadap aturan Sang Pencipta dan Rasul-Nya dalam menyikapi pemahaman
dan pengamalan atas Al-Qur'an.
Download artikel : disini
Posting Komentar