Sistem Pendidikan Kita Masih Perlu Banyak Pembenahan
Sistem pendidikan kita, masih memerlukan banyak
pembenahan-pembenahan. Butuh waktu dan kerja keras agar dunia pendidikan
kita bisa bersaing dengan negara-negara maju dari berbagai belahan
bumi. Berikut catatan dari Konferensi Internasional Pelajar Indonesia
(KIPI) 2010 di Victoria University, Melbourne, Australia, dilaporkan
oleh Wakil Ketua Pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) A
Khoirul Umam, dirangkum Rosidi.

Australia, CyberNews. Agustus tahun ini, bangsa ini memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65. Gegap gempita memperingati hari bersejarah bagi bangsa ini pun membahana. Tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi hingga sampai ke pelosok desa. Bagaimana dengan sebagian warga Negara kita yang tinggal di luar negeri?
Rasa cinta akan tanah air itu
ternyata tidak luntur, meski mereka berada di negeri seberang. Bahkan
tak jarang, mereka melakukan dialog dan diskusi-diskusi,
memperbincangkan masa depan Indonesia pada saat mendatang.
Salah satunya adalah Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) 2010 yang digelar oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) di Victoria University, Melbourne, Australia, belum lama ini.
Salah satunya adalah Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) 2010 yang digelar oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) di Victoria University, Melbourne, Australia, belum lama ini.
Pertemuan
yang berlangsung selama tiga hari, tepatnya pada 16-18 Juli 2010,
mengambil tema “Memikirkan Tanah Air saat Jauh: Kontribusi Pelajar
Indonesia di Luar Negeri untuk Pendidikan di Indonesia.”
Ketua
Umum PPIA 2009-2010, Miko Kamal melalui wakil ketua PPIA A Khoirul Umam
mengatakan, konferensi tersebut dihadiri pembicara tamu dari kalangan
pemerintahan, organisasi non-pemerintah, dan akademisi. “Ada 31 paper
yang dipresentasikan secara pararel oleh para pelajar Indonesia yang
sedang belajar di berbagai universitas di Australia dan beberapa negara
lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Mesir, Taiwan, dan Filipina,”
kata Umam.
Tujuan digelarnya KIPI 2010 itu, menurut peraih gelar
Master Kata Kelola Pemerintahan Asia di Flinders University, Adelaide,
Australia Selatan, adalah untuk mengembangkan jejaring Pelajar Indonesia
di dunia, serta menajamkan strategi demi pembangunan Indonesia di
sektor pendidikan.
“Dalam forum ini, kita melakukan pencermatan
secara kritis kebijakan terhadap pendidikan di Indonesia, dengan
memadukan pengalaman dan wawasan yang unik dari berbagai belahan dunia.
Hasil dari diskusi ini, menjadi rekomendasi kebijakan untuk perbaikan
pendidikan di tanah air,” ujarnya yang diamini Zulfa Sakhiyya, Ketua
Panitia Pengarah acara tersebut.
Sumbangan Pemikiran
Diskusi
dalam KIPI 2010 itu dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama dengan tema
Internasionalisasi Pendikan Tinggi di Indonesia menghadirkan 3 pembicara
tamu, yaitu Prof Ainun Na’im (Wakil Rektor UGM Bidang Administrasi,
Keuangan dan SDM), Dr Erlenawati Sawir (peneliti di International
Education Research Centre, Central Queensland University), dan Prof
Tanya Fitzgerald (Professor Educational Leadership, Management and
History, La Trobe University, Australia).
Pada diskusi sesi
pertama ini mengemuka, bahwa internasionalisasi pendidikan tinggi yang
sedang menjadi trend di tanah air, perlu dicermati dan disikapi secara
kritis. Jika tidak, internasionalisasi tersebut akan menghambat akses
golongan miskin untuk memperoleh pendidikan, tergerusnya nilai-nilai
lokal yang semestinya bisa menjadi modal (aset), serta terpisahnya dunia
akademik dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Untuk
menjawab berbagai risiko (ancaman-Red) yang muncul, internasionalisasi
pendidikan tinggi di tanah air harus mengacu pada prinsip pendidikan
sebagai hak dasar warga Negara, di mana akses semua golongan dalam
masyarakat harus tetap dinomorsatukan.
Trend tersebut, menurut
para narasumber, harus dipahami sebagai politik kultural untuk
mengembangkan nilai-nilai multikulralisme dan kosmopolitanisme menuju
‘pandangan dunia’ yang lebih luas dan terbuka.
“Internasionalisasi
harus dalam kerangka peningkatan kualitas menuju ‘world-class
university’ yang dibarengi dengan berbagai program pengembangan
masyarakat sebagai saluran komunikasi dan kontribusi antara dunia
akademik dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat,” papar Umam,
mengutip para narasumber kunci itu.
Sesi kedua, diskusi membincang
isu pendidikan di tanah air melalui perspektif tata kelola
penyelenggarannya sebagai layanan masyarakat (public services).
Narasumber dalam sesi ini adalah Dr Taufik Hanafi (Direktur pada
Direktorat Agama dan Pendidikan, Bapenas) yang menyampaikan makalah
“Decentralisation of Education Sector in Indonesia: Evidence and Policy
Implication; Ade Irawan (Indonesian Corruption Watch/ICW) dengan makalah
“Good Governance dalam Tata Kelola Anggaran Pendidikan Nasional” dan
Prof Richard Chauvel (Associate Professor at School of Social Science,
Victoria University) berbicara tentang kerjasama pemerintah
Australia-Indonesia dalam berbagai program pengembangan pendidikan.
Sistem
pendidikan nasional yang masih menyimpan berbagai persoalan, mulai dari
konseptualisasi hingga implementasi, menjadi sorotan. Aspek
konseptualisasi, antara lain menyangkut prinsip otonomi berbasis
sekolah, yang menempatkan guru sebagai garda depan proses pembelajaran
dan penilaian.
Pada tataran realitas di lapangan, hal ini kurang
bisa direalisasikan. Sehingga ujian nasional (UN) yang dijadikan
satu-satunya tolok ukur kelulusan tanpa memandang disparitas yang begitu
beragam, malah bertentangan dengan prinsip ini.
Aspek
implementasi, menyoroti masalah pendanaan pendidikan yang bersumber dari
APBN, dengan BOS (Biaya Operasional Sekolah) sebagai contoh kasusnya.
Ade Irawan mengemukakan, proses penyaluran dana BOS langsung ke rekening
milik sekolah, tetap tak menghilangkan potensi korupsi karena posisi
kepala sekolah yang subordinat di bawah kepala dinas pendidikan di level
kabupaten/kota.
“Keberadaan kepala dinas dengan otoritas
mengangkat dan/atau memberhentikan kepala sekolah serta menentukan
distribusi berbagai dana dari pemerintah, kerapkali memaksa kepala
sekolah menyerahkan sejumlah uang supaya institusinya mendapatkan
berbagai dana.” katanya.
Selain masalah uang, yang lebih
dikhawatirkan para narasumber adalah pengaruh relasi kuasa pada otonomi
sekolah, yang seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat akan
pendidikan dan memberikan layanan yang terbaik untuk mereka, juga
menjadi keprihatinan tersendiri.
“Pemerintah harus meninjau ulang
kebijakan UN sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan. UN memang bisa
menjadi salah satu metode penilaian bagi pemerintah untuk memetakan
capaian kualitas pendidikan dengan disparitas yang beragam, tetapi
sangatlah sentralistis dan otoriter bila kemudian menjadikan UN
satu-satunya tolok ukur kelulusan,” jelas Taufik Hanafi.
Rekomendasi
A Khoirul Umam mengemukakan, dalam KIPI 2010, ada 31 makalah yang lolos seleksi, mencakup berbagai isu strategis. Di antaranya studi komparatif pendidikan di berbagai negara yang menganut desentralisasi, dilema privatisasi pendidikan, nasib guru di proyek SBI, pendidikan di daerah terpencil, dan minimnya layanan pendidikan literasi untuk kaum bisu-tuli atau difable.
A Khoirul Umam mengemukakan, dalam KIPI 2010, ada 31 makalah yang lolos seleksi, mencakup berbagai isu strategis. Di antaranya studi komparatif pendidikan di berbagai negara yang menganut desentralisasi, dilema privatisasi pendidikan, nasib guru di proyek SBI, pendidikan di daerah terpencil, dan minimnya layanan pendidikan literasi untuk kaum bisu-tuli atau difable.
Dan dari KIPI 2010 yang telah dilaksanakan
tersebut, para pelajar dan cendekiawan Indonesia di luar negeri itu
mengeluarkan rekomendasi yang selanjutnya akan diserahkan kepada
Presiden Republik Indonesia, dengan tembusan kepada Menteri Pendidikan
Nasional, Badan Perencana Pembangunan Nasional dan Atase Pendidikan
Nasional di KBRI Canberra, Australia.
Rekomendasi dalam pertemuan
para pelajar Indonesia di luar negeri itu adalah meninjau ulang UN
sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan, memperbaiki mekanisme
pengelolaan beasiswa Dikti menyangkut jumlah biaya hidup (living cost),
masa studi bagi mahasiswa Doktoral dari 3 tahun menjadi 4 tahun dan
pembekalan bahasa Inggris akademis untuk kepentingan studi, serta
meningkatkan mutu pendidik, anak didik, sistem, serta sarana dan
prasarana pendidikan di seluruh tanah air, tanpa membedakan kasta
sekolah (sekolah biasa atau sekolah berbasis internasional).
Selain
itu, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk menangani
pendidikan di daerah, termasuk perbaikan sistem dan pengawasan yang
lebih ketat atas penggunaan dana publik di sektor pendidikan, dan
meningkatan mutu pendidikan standar internasional, tidak boleh
meninggalkan nilai-nilai lokal. Akhirnya, para pelajar Indonesia yang
belajar di luar negeri, merupakan duta bangsa, yang memiliki kesempatan
untuk berkontribusi baik ketika di luar negeri maupun ketika kembali ke
Tanah Air. Sehingga ke depan, perlu dibuka peluang bagi mereka untuk
turut berperan serta supaya tidak enggan pulang ke tanah air.
Download : disini
Posting Komentar