Sabtu, 19 November 2011

Sistem Pendidikan Kita Masih Perlu Banyak Pembenahan

Sistem pendidikan kita, masih memerlukan banyak pembenahan-pembenahan. Butuh waktu dan kerja keras agar dunia pendidikan kita bisa bersaing dengan negara-negara maju dari berbagai belahan bumi. Berikut catatan dari Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) 2010 di Victoria University, Melbourne, Australia, dilaporkan oleh Wakil Ketua Pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) A Khoirul Umam, dirangkum Rosidi. 

Australia, CyberNews. Agustus tahun ini, bangsa ini memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65. Gegap gempita memperingati hari bersejarah bagi bangsa ini pun membahana. Tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi hingga sampai ke pelosok desa. Bagaimana dengan sebagian warga Negara kita yang tinggal di luar negeri?
Rasa cinta akan tanah air itu ternyata tidak luntur, meski mereka berada di negeri seberang. Bahkan tak jarang, mereka melakukan dialog dan diskusi-diskusi, memperbincangkan masa depan Indonesia pada saat mendatang.
Salah satunya adalah Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) 2010 yang digelar oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) di Victoria University, Melbourne, Australia, belum lama ini.
Pertemuan yang berlangsung selama tiga hari, tepatnya pada 16-18 Juli 2010, mengambil tema “Memikirkan Tanah Air saat Jauh: Kontribusi Pelajar Indonesia di Luar Negeri untuk Pendidikan di Indonesia.”
Ketua Umum PPIA 2009-2010, Miko Kamal melalui wakil ketua PPIA A Khoirul Umam mengatakan, konferensi tersebut dihadiri pembicara tamu dari kalangan pemerintahan, organisasi non-pemerintah, dan akademisi. “Ada 31 paper yang dipresentasikan secara pararel oleh para pelajar Indonesia yang sedang belajar di berbagai universitas di Australia dan beberapa negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Mesir, Taiwan, dan Filipina,” kata Umam.
Tujuan digelarnya KIPI 2010 itu, menurut peraih gelar Master Kata Kelola Pemerintahan Asia di Flinders University, Adelaide, Australia Selatan, adalah untuk mengembangkan jejaring Pelajar Indonesia di dunia, serta menajamkan strategi demi pembangunan Indonesia di sektor pendidikan.
“Dalam forum ini, kita melakukan pencermatan secara kritis kebijakan terhadap pendidikan di Indonesia, dengan memadukan pengalaman dan wawasan yang unik dari berbagai belahan dunia. Hasil dari diskusi ini, menjadi rekomendasi kebijakan untuk perbaikan pendidikan di tanah air,” ujarnya yang diamini Zulfa Sakhiyya, Ketua Panitia Pengarah acara tersebut.
Sumbangan Pemikiran
Diskusi dalam KIPI 2010 itu dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama dengan tema Internasionalisasi Pendikan Tinggi di Indonesia menghadirkan 3 pembicara tamu, yaitu Prof Ainun Na’im (Wakil Rektor UGM Bidang Administrasi, Keuangan dan SDM), Dr Erlenawati Sawir (peneliti di International Education Research Centre, Central Queensland University), dan Prof Tanya Fitzgerald (Professor Educational Leadership, Management and History, La Trobe University, Australia).
Pada diskusi sesi pertama ini mengemuka, bahwa internasionalisasi pendidikan tinggi yang sedang menjadi trend di tanah air, perlu dicermati dan disikapi secara kritis. Jika tidak, internasionalisasi tersebut akan menghambat akses golongan miskin untuk memperoleh pendidikan, tergerusnya nilai-nilai lokal yang semestinya bisa menjadi modal (aset), serta terpisahnya dunia akademik dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Untuk menjawab berbagai risiko (ancaman-Red) yang muncul, internasionalisasi pendidikan tinggi di tanah air harus mengacu pada prinsip pendidikan sebagai hak dasar warga Negara, di mana akses semua golongan dalam masyarakat harus tetap dinomorsatukan.
Trend tersebut, menurut para narasumber, harus dipahami sebagai politik kultural untuk mengembangkan nilai-nilai multikulralisme dan kosmopolitanisme menuju ‘pandangan dunia’ yang lebih luas dan terbuka.
“Internasionalisasi harus dalam kerangka peningkatan kualitas menuju ‘world-class university’ yang dibarengi dengan berbagai program pengembangan masyarakat sebagai saluran komunikasi dan kontribusi antara dunia akademik dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat,” papar Umam, mengutip para narasumber kunci itu.
Sesi kedua, diskusi membincang isu pendidikan di tanah air melalui perspektif tata kelola penyelenggarannya sebagai layanan masyarakat (public services). Narasumber dalam sesi ini adalah Dr Taufik Hanafi (Direktur pada Direktorat Agama dan Pendidikan, Bapenas) yang menyampaikan makalah “Decentralisation of Education Sector in Indonesia: Evidence and Policy Implication; Ade Irawan (Indonesian Corruption Watch/ICW) dengan makalah “Good Governance dalam Tata Kelola Anggaran Pendidikan Nasional” dan Prof Richard Chauvel (Associate Professor at School of Social Science, Victoria University) berbicara tentang kerjasama pemerintah Australia-Indonesia dalam berbagai program pengembangan pendidikan.
Sistem pendidikan nasional yang masih menyimpan berbagai persoalan, mulai dari konseptualisasi hingga implementasi, menjadi sorotan. Aspek konseptualisasi, antara lain menyangkut prinsip otonomi berbasis sekolah, yang menempatkan guru sebagai garda depan proses pembelajaran dan penilaian.
Pada tataran realitas di lapangan, hal ini kurang bisa direalisasikan. Sehingga ujian nasional (UN) yang dijadikan satu-satunya tolok ukur kelulusan tanpa memandang disparitas yang begitu beragam, malah bertentangan dengan prinsip ini.
Aspek implementasi, menyoroti masalah pendanaan pendidikan yang bersumber dari APBN, dengan BOS (Biaya Operasional Sekolah) sebagai contoh kasusnya. Ade Irawan mengemukakan, proses penyaluran dana BOS langsung ke rekening milik sekolah, tetap tak menghilangkan potensi korupsi karena posisi kepala sekolah yang subordinat di bawah kepala dinas pendidikan di level kabupaten/kota.
“Keberadaan kepala dinas dengan otoritas mengangkat dan/atau memberhentikan kepala sekolah serta menentukan distribusi berbagai dana dari pemerintah, kerapkali memaksa kepala sekolah menyerahkan sejumlah uang supaya institusinya mendapatkan berbagai dana.” katanya.
Selain masalah uang, yang lebih dikhawatirkan para narasumber adalah pengaruh relasi kuasa pada otonomi sekolah, yang seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan memberikan layanan yang terbaik untuk mereka, juga menjadi keprihatinan tersendiri.
“Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan UN sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan. UN memang bisa menjadi salah satu metode penilaian bagi pemerintah untuk memetakan capaian kualitas pendidikan dengan disparitas yang beragam, tetapi sangatlah sentralistis dan otoriter bila kemudian menjadikan UN satu-satunya tolok ukur kelulusan,” jelas Taufik Hanafi.
Rekomendasi
A Khoirul Umam mengemukakan, dalam KIPI 2010, ada 31 makalah yang lolos seleksi, mencakup berbagai isu strategis. Di antaranya studi komparatif pendidikan di berbagai negara yang menganut desentralisasi, dilema privatisasi pendidikan, nasib guru di proyek SBI, pendidikan di daerah terpencil, dan minimnya layanan pendidikan literasi untuk kaum bisu-tuli atau difable.
Dan dari KIPI 2010 yang telah dilaksanakan tersebut, para pelajar dan cendekiawan Indonesia di luar negeri itu mengeluarkan rekomendasi yang selanjutnya akan diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia, dengan tembusan kepada Menteri Pendidikan Nasional, Badan Perencana Pembangunan Nasional dan Atase Pendidikan Nasional di KBRI Canberra, Australia.
Rekomendasi dalam pertemuan para pelajar Indonesia di luar negeri itu adalah meninjau ulang UN sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan, memperbaiki mekanisme pengelolaan beasiswa Dikti menyangkut jumlah biaya hidup (living cost), masa studi bagi mahasiswa Doktoral dari 3 tahun menjadi 4 tahun dan pembekalan bahasa Inggris akademis untuk kepentingan studi, serta meningkatkan mutu pendidik, anak didik, sistem, serta sarana dan prasarana pendidikan di seluruh tanah air, tanpa membedakan kasta sekolah (sekolah biasa atau sekolah berbasis internasional).
Selain itu, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk menangani pendidikan di daerah, termasuk perbaikan sistem dan pengawasan yang lebih ketat atas penggunaan dana publik di sektor pendidikan, dan meningkatan mutu pendidikan standar internasional, tidak boleh meninggalkan nilai-nilai lokal. Akhirnya, para pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri, merupakan duta bangsa, yang memiliki kesempatan untuk berkontribusi baik ketika di luar negeri maupun ketika kembali ke Tanah Air. Sehingga ke depan, perlu dibuka peluang bagi mereka untuk turut berperan serta supaya tidak enggan pulang ke tanah air.

Download : disini

0 comments:

Posting Komentar

  ©Template by Blogger. Design By Tips dan Trik Blog