Implementasi Nilai - Nilai Al Qur’an dan Hadits Dalam Dunia Pendidikan Islam
Keimanan
terhadap Islam sebagai sebuah manhajul hayah (sistem hidup) akan
senantiasa membawa seorang muslim untuk kembali kepada ajaran agamanya.
Segala permasalahan akan diupayakan untuk ditinjau dari “kaca mata”
Islam. Bagaimana Islam mendudukkan persoalan tertentu, demikian pula
seorang muslim akan mendudukkan persoalan tersebut.
Dunia
pendidikan, dalam hal ini, tidak terkecuali. Seorang guru atau tenaga
pendidik muslim, sebelum dia berperan sebagai guru atau tenaga pendidik,
dia adalah seorang muslim. Artinya, dia akan memenuhi panggilan hati
nuraninya untuk senantiasa membawa misi Islam dalam kehidupannya. Dan
misi Islam itu adalah: rahmatan lil ’alamin.

Meletakkan wacana pendidikan dalam bingkai ajaran Islam, tentu juga bukan sesuatu yang aneh. Sebab, para nabi dan rasul ’alaihimus shalatu was salam sendiri, yang merupakan manusia-manusia figur keagamaan, adalah guru-guru kehidupan. Tugas pokok dan misi utama mereka adalah pendidikan dan pengajaran. Mereka adalah tokoh-tokoh pendidikan.
Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala mengabadikan doa Nabi Ibrahim, bapak para nabi:
رَبَّنَا
وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah)
serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah/2: 129)
Ayat ini dalam konteks
doa Ibrahim untuk anak cucu putranya, Ismail ‘alaihimas salam. Lebih
spesifik, ayat ini tentang penutup para nabi sekaligus nabi termulia:
Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam.
Dalam doanya itu, Ibrahim
merinci misi kenabian Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Ia
menyebut tiga strategi: membacakan, mengajarkan dan mensucikan. Tak
pelak, ketiganya adalah tugas pendidik. Tidak salah bila dikatakan bahwa
pendidikan adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari ajaran
Islam.3)
Makalah ini tidak berpretensi untuk merinci sistem
pendidikan Islam. Pendidikan Islam terlalu luas untuk dapat dituangkan
dalam tulisan sesederhana ini.4) Makalah ini hanya akan menyinggung
dasar falsafah pendidikan Islam beserta metodenya. Dua segi yang
dianggap paling mendasar dalam pendidikan. Bila yang pertama merupakan
landasan nilai, maka yang kedua adalah implementasi nilai-nilai
tersebut.
MOTIVASI KEAGAMAAN
Dari Zaid bin
Tsabit radhiyallahu ’anhu, ”Aku dibawa menghadap Nabi shallallahu
’alaihi wasallam ketika beliau baru tiba di Madinah. Orang-orang
berkata, ’Ya Rasulallah, anak ini dari Bani Najjar (sebuah riwayat
menyebut usianya waktu itu sebelas tahun). Ia telah hapal tujuh belas
surah yang diturunkan padamu.
’Aku kemudian memperdengarkan hapalanku di depan Rasulullah. Beliau kagum dengan bacaanku.
’Beliau
berkata, ’Ya Zaid, belajarlah untukku tulisan Yahudi (sebuah riwayat
menyebut waktu itu dia bahkan tidak tahu bahasa Yahudi, Suryaniyah).
Demi Allah, aku tidak percaya mereka menulis untukku.5)
’Aku
kemudian belajar bahasa Yahudi. Tidak sampai setengah bulan, aku telah
mampu bahasa Yahudi. Akulah yang menulis surat buat Rasulullah bila
beliau bersurat kepada orang-orang Yahudi.
Sejarah Islam penuh
dengan daftar ulama dan ilmuwan dalam segala bidang dan spesialisasi. Di
zaman mereka, tidak ada sistem gaji atau bonus. Apalagi proyek yang
disokong dengan kucuran dana dari pemerintah atau lembaga-lembaga
donatur. Tapi, demikianlah. Mereka tetap bekerja dengan tekun walaupun
dalam hening. Sebab mereka tahu, ganjaran mereka menunggu di akhirat.
Sumber motivasi mereka satu: agama.
Agama adalah rahasia sejarah
yang terbesar. Sepanjang sejarah manusia, tidak ada faktor yang mampu
menggerakkan bahkan mengarahkan jarum sejarah seperti yang dilakukan
agama.
Sayangnya, secara sadar ataupun tidak, pendidikan kita
selama ini lebih kerap mengabaikan faktor agama. Agama atau sisi
spiritual kehidupan manusia cenderung dilupakan kalau tidak malah
diupayakan untuk disingkirkan. Padalah, pada sisi inilah tersimpan
potensi dahsyat manusia. Karena ia merupakan puncak kesadaran tertinggi
kehidupannya.
Lebih jauh, praktik pendidikan kemudian hanya
memandang manusia sebagai instrumen material. Baik itu instrumen bagi
kekokohan suatu negara atau bahkan ideologi tertentu. Dalam banyak
kasus, paradigma pertumbuhan (atau dalam bahasa populer: pengembangan
sumber daya manusia) yang merupakan representasi ideologi kapitalistik
kerap menjadi acuan.
Dalam kerangka pendidikan yang “berbau”
kapitalistik ini, peserta didik diarahkan untuk menjadi buruh atau
tenaga kerja yang berkualitas. Bukan untuk menjadi manusia yang mandiri
dengan cita-cita yang tinggi. Di sini, azas manfaat yang berjangka
pendek mendominasi. Tujuan pendidikan model ini jelas: untuk menjadi
penopang bagi kelestarian kapitalisme global.6)
Islam menawarkan
paradigma ”langit.” Pendidikan dan belajar adalah bagian dari iman.
Tujuannnya: menyempurnakan ubudiyah kepada Allah subhanahu wata’ala
(ibadah). Azasnya juga jelas: kemaslahatan bagi umat dan kemanusiaan
(khilafah atau ’imaratul ardh).7)
Dalam ungkapan yang sedikit
menyindir, al-Attas, seorang pakar pendidikan Islam menyitir bahwa warga
negara atau pekerja yang baik dalam sebuah negara sekuler, sebagai
contoh, tidak sama dengan manusia yang baik/shalih (simplifikasi istilah
untuk ibadah dan khilafatul ’ardh). Sebaliknya, manusia yang
baik/shalih sudah pasti seorang pekerja dan warga negara yang baik.8)
Dengan
kata lain, pelajar yang memiliki motivasi keagamaam dalam belajar dan
bekerja akan memiliki etos kerja dan kreativitas sekaligus. Sebab, dia
bekerja dengan semangat yang terpaut dengan keyakinan dasar agama.
Pekerjaan yang dia geluti akan dia posisikan sebagai bagian dari
pengabdiannya kepada Allah.
Di samping itu, dia juga kreatif. Dia
tidak akan pernah terpaku pada satu kondisi tertentu. Sebab, dia melihat
pekerjaan dan pengabdiannya dalam kerangka yang lebih luas. Untuk
kemajuan Islam, umat Islam dan kemanusiaan. Ia akan terus mengabdi.
Sejauh pelajaran dan pekerjaannya itu demi mewujudkan kemajuan tersebut.
PENDIDIKAN BERBASIS ADAB DAN AKHLAK
Benarkah
kita telah menyelenggarakan pendidikan? Lantas, bagaimana menjelaskan
tindakan premanisme, korup, asusila, dan tindakan amoral dan melanggar
hukum lainnya yang justru dilakukan oleh “orang-orang terdidik” dan dari
“institusi-institusi dan lembaga terhormat” di negeri kita? Dimana
letak kesalahan pendidikan selama ini?
Dalam menyikapi realitas
pendidikan sebagaimana disinggung, menarik untuk dikaji pula sebuah
sikap ”setengah hati” bangsa kita. Di tengah konsensus bahwa sumber
krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia adalah krisis moral,
tapi sejauh ini, tidak ditemukan gerakan yang menyeluruh dan mendasar
yang telah kita lakukan untuk mengentaskannya. Apakah kita telah
benar-benar serius untuk dapat meyelesaikan masalah yang kita hadapi?
Pada titik ini, konsepsi pendidikan Islam, yang meletakkan adab dan akhlak sebagai fondasinya, sangat tepat dikemukakan. Sebelum melangkah lebih jauh, segera harus digarisbawahi bahwa adab dan akhlak hendaknya tidak dipahami sebagai dasar-dasar moral tanpa bentuk-bentuk praktis dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana adab dan akhlak juga tidak boleh dipahami sebatas tata krama dan etika praktis, sehingga tidak menyentuh nilai-nilai kecendikiawanan dan tradisi keintelektualan yang menjadi basis bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan adab dan akhlak di sini adalah kualitas-kualitas mental, spiritual, sikap dan perilaku dan yang mencakup itu semua.
Pendidikan Islam meletakkan
pendidikan adab dan akhlak dalam posisi yang sangat sentral. Pengamatan
sepintas penulis menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan satu pun
tulisan ulama yang membahas thalab al-‘ilm (belajar dan pembelajaran)
tanpa memberi penekanan khusus pada aspek ini.
Al-Husain ibn
Ismail menceritakan dari ayahnya bahwa manusia yang menghadiri majlis
Imam Ahmad bin Hambal sekitar 5000-an orang atau lebih. Dari jumlah
tersebut, kurang dari 500 orang yang mencatat pelajaran. Sisanya datang
untuk belajar adab dan budi pekerti Imam Ahmad! Patut dicatat bahwa
majlis-majlis ilmu pada masa itu, sebagaimana dilaporkan Imam
az-Dzahabi, umumnya dihadiri oleh ratusan ulama yang berkualifikasi
dapat mengeluarkan fatwa sendiri. Persaksian ini menegaskan posisi
pendidikan adab dan akhlak dalam tradisi keilmuan Islam.
Lebih
jauh, dalam pendidikan Islam, pendidikan adab dan akhlak bahkan
didahulukan daripada pendidikan pada segi-segi yang lain.
“Pendahulu-pendahulu saya,” tutur Sufyan at-Tsauri (w. 161 H.), “tidak
mengizinkan anak-anak mereka keluar menuntut ilmu sebelum anak-anak
tersebut beradab dan terbiasa dengan ibadah dua puluh tahun.” Pernyataan
senada diungkapkan juga oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.), Ubaidullah
ibn Umar (w. 147 H.), al-Laits ibn Saad (w. 175 H.), Abdullah ibn
al-Mubarak (w. 181 H.), Mikhlad ibn Husain (w. 191 H.), Ibrahim ibn
Habib as-Syahid (w. 203 H.), dll. Itu sebabnya, dahulu dikenal istilah
mu-addib. Istilah ini untuk merujuk kepada orang-orang yang secara
khusus melatih hapalan Al-Qur’an, mengajarkan membaca, menulis, dan
melatih adab, akhlak dan ibadah kepada anak-anak didiknya.
Penekanan
pada aspek adab dan akhlak dalam dalam pendidikan Islam tersebut
tampaknya karena, dalam perspektif Islam, belajar bukanlah demi dan
untuk belajar itu sendiri. Tapi belajar dianggap sebagai bagian dari
usaha mendapat hidayah. Ilmu bahkan dipersepsikan sebagai bagian dari
hidayah itu sendiri.
Imam as-Syafi’i menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan sya’ir:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي # فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين
Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.”
Di
sinilah mungkin salah satu perbedaan antara pendidikan yang kita
kembangkan dengan pendidikan Islam. Dalam pendidikan kita, aksiologi
ilmu justru diletakkan di urutan terakhir. Tradisi intelektual dan
kecendikiawanan yang seharusnya ditanamkan sejak dini, baru ditanamkan
ketika peserta didik menginjak bangku kuliah. Tugas mengkaji, metodologi
penelitian, kemampuan berpikir kritis dan logis, objektif dalam
menilai, jujur, sportif, dsj, nanti diberikan pada usia dewasa. Padahal,
bila kita benar-benar menginginkan agar nilai-nilai tersebut dapat
tertanam dalam sikap dan prilaku peserta didik, seharusnyalah sudah
ditekankan lebih awal.
REKONSTRUKSI EPISTIMOLOGIS
Secara
dikhotomis, ilmu-ilmu yang diajarkan kepada peserta didik dibagi
umumnya kepada ilmu-ilmu umum-sekuler dan agama. Klasifikasi ini,
kendati terkesan sekadar penyederhanaan, tapi sebenarnya memiliki dasar
argumentasi yang cukup kuat.
Sulit dipungkiri bahwa ilmu-ilmu yang
berkembang di Barat yang kemudian dikembangkan pula di sekolah-sekolah
umum negara-negara dunia ketiga, yang umumnya berpenduduk muslim, bias
dengan worlview dan framework Barat yang notabene sekuler. Bukankah
teori Maslow tentang hierarki kebutuhan tidak menempatkan kebutuhan
kepada Allah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia? Bukankah
prime-theory evolusi Darwin merupakan upaya sengaja untuk
mengenyampingkan kenyataan bahwa manusia terdiri dari akal, tubuh dan
jiwa? Mengapa psikologi cuma melihat dimensi yang terlihat (visible)
dari manusia dan melupakan peran hawa nafsu atau syetan, sebagaimana
termaktub dalam kitab-kitab suci? Pernahkah guru sains kita memberi
penyadaran kepada anak didiknya bahwa konsistensi fenomena alam sebagai
sunnatullah (aturan dan hukum Allah). Dan bukannya “hukum alam”, istilah
yang bila disalahpahami bisa menggiring kepada pengingkaran terhadap
peran Tuhan di alam semesta? Mengapa antropologi tidak pernah
menyinggung eksistensi para nabi dan rasul, kendati dia adalah fakta
yang diakui oleh tiga agama besar dunia? Sederet lagi pertanyaan lain
yang menggelitik yang simpul-simpulnya dapat pembaca lihat pada
lampiran 1 pada bagian lain dari makalah ini.
Problem
epistimologis inilah yang melahirkan wacana islamisasi ilmu
pengetahuan. Dalam kerangka epistimologi alternatif ini, ilmu
pengetahuan tidak dibatasi pada hasil rasio dan pengalaman empiris
semata. Tapi peran wahyu diikutkan bahkan menempati puncak hierarki
ilmu.
Timbulnya perilaku menyimpang, sebagai misal, tidak melulu
dilihat dari sudut materi dengan kacamata positivistik. Seperti teori
tentang adanya sub-kultur yang menyimpang dari mainstream sosial, atau
teori tentang adanya reference group lain yang menjadi acuan, atau
akibat dari ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Analisa-analisa
teoritis yang dikutip di atas sangat materialistik dan menempatkan
manusia sebagai makhluk tak berdaya. Seakan manusia tidak memiliki
kekuatan untuk berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak hidupnya
itu. Di samping itu, menafikan peran syetan dan hawa nafsu.
Kenyataan
inilah yang kiranya menjadikan dewasa ini banyak orang agama yang
kurang bersemangat belajar umum. Seperti halnya tidak sedikit orang umum
yang ogah-ogahan belajar agama. Sebab, telah terjadi semacam
keterbelahan epistimologis. Wahyu agama yang “diimani” seakan tak
berharga ketika berbicara dalam konteks ilmu pengetahuan. Ini di satu
sisi.
Pada sisi yang lain, hal ini juga menjelaskan mengapa
cendikiawan muslim dahulu memiliki wawasan keilmuan yang integralistik.
Dikhotomi-dilematis: dunia-akhirat, subjektif-objektif, iman-ilmu,
qalb-rasio, substansi-simbol, dsb, tidak mereka hadapi.
Dalam
tataran yang lebih praktis, problem epistimologis ini juga memiliki
pengaruh langsung dalam pembelajaran. Filsafat konstruktivisme yang
dianut luas dalam pembelajaran modern, misalnya, berangkat dari asumsi
relativitas mutlak pengetahuan manusia yang disandarkan pada nilai
pragmatisme pengetahuan dan kebenaran. Sebab, yang penting di sini
adalah bagaimana suatu konsep dapat berlaku atau dapat digunakan.
Sebagai
dampaknya, tidak ada otoritas mutlak yang pasti benar. Walaupun itu
berasal dari wahyu yang benar atau didasarkan pada fitrah yang suci.
Sikap skeptik berlaku mutlak dalam seluruh proses pembelajaran model
konstruktivisme.
Dalam Islam, pragmatisme ilmu semata tidak dapat
diterima. Menurut Islam, norma-norma agama, berupa syariat, tetap harus
dikedepankan. Kesimpulannya, filsafat pendidikan ini, terutama pada
segi-segi yang telah dikemukakan, menabrak beberapa konsep baku dalam
Islam.
Kondisi riil di lapangan lebih memprihatinkan lagi.
Alih-alih mengintegrasikan nilai dan ajaran Islam terhadap ilmu-ilmu
umum, yang terjadi justru marginalisasi pelajaran agama. Bukan rahasia
lagi bila pelajaran-pelajaran agama kerap dipandang hanya sebagai
pelengkap belaka. Pelajaran agama tidak diposisikan untuk menjiwai
pelajaran-pelajaran lain.
Dalam kerangka rekonstruksi epistimologi
ini, tenaga-tenaga pendidik bertanggung jawab untuk meningkatkan
kualitas pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Sebab bila tidak,
mereka turut memiliki saham dalam melahirkan generasi-generasi bangsa
masa depan yang menderita dis-orientasi dalam kehidupannya. Karena
dengan hanya berbekalkan ilmu-ilmu Barat sebagaimana digambarkan,
pemahaman tentang realitas dan kebenaran tidak akan pernah sempurna dan
tuntas. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius dengan jumlah
penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Bila aspek ini tidak segera
dibenahi, maka di masa yang akan datang, tidak mustahil nilai
religiusitas yang menjadi ciri kebangsaan itu hanya tinggal kenangan.
Dari
pemaparan di atas, beberapa metode yang merupakan implementasi
nilai-nilai pendidikan Islam yang dapat direkomendasikan adalah, antara
lain:
a. Tumbuhkan afiliasi serta keterikatan emosi peserta didik
dengan agama dan umatnya lewat pendidikan sejarah Islam dan biografi
tokoh-tokoh dan pahlawan muslim
b. Tumbuhkan semangat dan
militansi juang peserta didik dengan membekali mereka dengan pemahaman
terhadap kondisi dan tantangan yang dihadapi umat
c. Luruskan
pemahaman peserta didik tentang konsep ibadah yang mencakup seluruh
aktivitas kehidupan sepanjang sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam
d. Biasakan peserta didik dengan akhlak dan adab-adab islami, baik itu dengan pengajaran langsung maupun lewat teladan dari guru
e. Tanamkan nilai-nilai luhur, kecendekiawanan dan etos kerja yang islami sejak dini kepada peserta didik
f. Kembangkan model-model pembelajaran yang holistik dan menyeluruh
dengan memanfaatkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dalam Islam
Download artikel: klik disini
Posting Komentar