MENGHADIRKAN KEPRIBADIAN DAN SIFAT KETUHANAN DALAM DIRI PENDIDIK MUSLIM
A. Pedahuluan
Pendidik dalam keseluruhan proses pendidikan
merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Melalui pendidiklah
aktivitas paedagogis dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai.
Ia juga bertanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan
nilai yang telah ditetapkan untuk dimiliki oleh peserta didik. Oleh
sebab itu, kehadirannya akan banyak mempengaruhi keberhasilan proses
pendidikan itu sendiri.
Apabila
merujuk pada beberapa istilah dalam konteks makna pendidikan, maka
sedikitnya ada tiga istilah yang menunjuk pada makna pendidik, yaitu
al-Mu'allim (المعلم ), al-Muaddib (المأدب), dan al-Murabbī (المربى).*)
Al-Mu'allim
(isim fa'il) berasal dari akar kata 'allama (علم). Dalam bentuk kata
kerja dengan segala variasinya disebut dalam Al-Qur'ān lebih dari 40
kali, tersebar dalam beberapa surah, seperti dalam ayat berikut:
al-Baqarah (2) : 31 dan ar-Rahman (55) : 2, 4.
Sebagai yang Maha
Pendidik, Tuhan memiliki kelebihan ilmu ---merupakan sifat--- yang
diajarkan kepada manusia (Nabi Adam as) selaku peserta didik, agar ia
mampu mengemban tugas kekhalifahan di atas bumi.
Adanya kelebihan
ilmu, merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pendidik
untuk dapat menyampaikan materi pendidikan, sehingga orang lain menjadi
baik. Oleh sebab itu Islam sangat menghargai, menghormati dan memuliakan
orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik.
Dengan
demikian, pendidik merupakan pihak yang memiliki kelebihan ilmu dari
peserta didiknya. Melalui proses pendidikan, ia mentransformasi-kan ilmu
yang dimiliki kepada manusia lain (peserta didik), agar dapat mengenal
dirinya, penciptanya dan yang lainnya melalui kemampuan berfikir dengan
ilmu yang dimiliki.
Al-Muaddib (isim fā'il), berasal dari akar
kata addaba (بادّ). Di dalam Al-Qur'ān, kata ini tidak ditemukan
penggunaannya. Kata adab diartikan sebagai al adabu yang berarti
pendidikan, yaitu mendidik manusia agar beradab. Dinamai adaban, karena
mendidik manusia kepada hal-hal yang terpuji dari hal-hal yang tercela.
Sedang asal al adab adalah ad du'ā' yang memiliki arti panggilan atau
ajakan. Lebih lanjut kata addaba muradif (sinonim) dengan kata allama
yang berarti mendidik atau mengajar, sebagaimana Allah telah mendidik
NabiNya Muhammad SAW.
ادّبني ربّي فأحسن تأدبي
Artinya : Tuhanku telah mendidikku, maka Dia (Allah) baguskan pendidikanku.
Artinya : Tuhanku telah mendidikku, maka Dia (Allah) baguskan pendidikanku.
Dari
sini diketahui bahwa pendidik merupakan pihak yang memanggil atau
mengajak, membimbing dan mengarahkan manusia (peserta didik) agar
beradab atau berakhlak baik, dengan melalui aktivitas paedagogis.
Manusia
beradab atau berakhlak baik inilah yang oleh Muhammad Atiyah al Abrasyi
disebut sebagai tujuan umum pendidikan Islam. Bahkan akhlak yang baik
ini merupakan jiwa dari pendidikan Islam.
Al-Murabbī (isim fa'il),
berasal dari akar kata rabba - yarubbu (يربّ - ربّ). Dalam Al-Qur'ān
disebut tidak kurang dari 900 kali dalam beberapa ayat dan tersebar
dalam beberapa surah, antara lain adalah: al-Fatihah (1) : 1 - 7.
Kata
rabbun (ربّ), selain menunjuk pada nama Tuhan, juga memiliki arti
pendidik. Syekh Ahmad Mustafa al-Maragī, menguraikan kata tersebut
dengan Tuhan pendidik yang mengurus kepentingan yang dididiknya dan
mengatur urusannya atau keperluannya.
Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa didikan Tuhan kepada manusia ada dua macam, yaitu:
1.
Pendidikan Penciptaan, yaitu dengan menumbuhkan tubuh atau jasmani
sampai dewasa menuju kesempurnaannya serta mengembangkan kekuatan jiwa
dan akalnya.
2. Pendidikan Keagamaan, yaitu mendidik dengan menurunkan wahyu kepada seseorang (Rasul) agar disampaikan kepada yang lain untuk menyempurnakan akal dan membersihkan jiwa mereka.
2. Pendidikan Keagamaan, yaitu mendidik dengan menurunkan wahyu kepada seseorang (Rasul) agar disampaikan kepada yang lain untuk menyempurnakan akal dan membersihkan jiwa mereka.
Selain
sebagai Tuhan bagi seluruh alam, Allah juga menjadi pemilik, pengatur,
pemelihara, dan pendidik alam semesta. Para Malaikat, para Rasul, para
Nabi, dan siapa yang dikehendakiNya, diciptakan sebagai penyambung
risalah ilahiyah sekaligus sebagai khalifah dalam proses mendidik yang
lain agar menjadi baik. Oleh sebab itu, mekanisme penciptaan dilakukan
olehNya untuk mendidik makhlukNya, bahwa sesuatu itu terjadi melalui
proses (pendidikan).
Al-Mua'allim, lebih tepat digunakan untuk
menunjuk istilah pengajar, sebab hanya terbatas pada kegiatan
menyampaikan atau memasukkan ilmu kepada pihak lain. Pada tahap ini
aktivitas paedagogis hanya menyentuh ranah kognitif. Ranah kognitif
adalah kemampuan untuk mengenal, mengetahui, menganalisis, menyusun,
menyimpulkan, dan merumuskan.
Al-Muaddib, lebih tepat digunakan
untuk menunjuk istilah pendidik adab atau akhlak, sebab hanya terbatas
pada kegiatan penghalusan sikap agar berakhlak baik. Sasarannya adalah
hati dan tingkah laku atau ranah afektif dan psikomotorik.
Aktivitas
paedagogis diarahkan kepada kemampuan untuk mempertajam kepekaan rasa
keindahan, kekaguman, keharuan, penghalusan sikap, budi, kecenderungan
kepada yang baik dan keengganan kepada yang jahat.
Kesatuan ranah
afektif dan psikomotorik belum mewakili taksonomi manusia dalam
pendidikan, sebab bangun manusia dalam taksonomi pendidikan meliputi
ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Taksonomi itu merupakan
perpaduan cipta, rasa, dan karsa. Atau dengan kata lain, pendidikan yang
mengarahkan sasarannya pada kesatuan ilmu, iman, dan amal.
Sedang
istilah al Murabbi, jika dilihat dari akar kata dan kandungan arti yang
dimilikinya, maka tercakup di dalamnya semua aktivitas paedagogis.
Aktivitas itu meliputi kegiatan menyampaikan ilmu, mentransfer nilai,
mengajak, mengarahkan, membimbing, mengurus, memelihara, mengatur dan
menumbuh-kembangkan potensi manusia agar menjadi baik. Ini berarti juga,
bahwa aktivitas paedagogis menyentuh ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik secara padu dan utuh.
Pendidik di dalam Al-Qur'ān
diistilahkan dengan sebutan rabbani (ربّني ), seperti dalam surah Ali
Imran (3) ayat 79, sebagai berikut:
Menurut Sibawīh, kata
rabbaniyyin (ربّنين) bentuk mufrad (tunggal) nya adalah rabbani (ربّني),
mansub dengan kata ar-rabba (الربّ). Dimaksudkan dengan rabbani adalah
mengetahui Allah dengan tetap patuh dan tunduk kepadaNya.
Diriwayatkan juga, bahwasanya Muhammad Ibn Hanafiyah berkata ketika wafat Ibnu Abbas "Telah wafat pendidik umat ini".
Sedang Muhammad Jawad al Mugniyah menyebutkan bahwa rabbani adalah orang yang memahami kitab Allah dan mengamalkannya serta mengajarkan kepada orang lain. Selanjutnya ia menambahkan dengan mengutip pendapat Muhammad 'Abduh, bahwa "Manusia hanya bisa menjadi rabbani, bilamana ia memiliki ilmu dan mengamalkannya".
Sedang Muhammad Jawad al Mugniyah menyebutkan bahwa rabbani adalah orang yang memahami kitab Allah dan mengamalkannya serta mengajarkan kepada orang lain. Selanjutnya ia menambahkan dengan mengutip pendapat Muhammad 'Abduh, bahwa "Manusia hanya bisa menjadi rabbani, bilamana ia memiliki ilmu dan mengamalkannya".
Pendidik dalam konteks ini,
senantiasa mendasarkan aktivitas kependidikannya pada aturan Tuhan. Ia
senantiasa mengamalkan ilmunya dan beramal ---mengatur, mengurus,
memelihara, memiliki, memperbaiki dan menumbuhkembangkan--- dengan
ilmunya kepada pihak lain (peserta didik) di atas ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Tuhan.
Di samping rabbanī, Al-Qur'ān juga
mengistilahkan pendidik dengan sebutan ulama', seperti terdapat dalam
surah Fātir (35) ayat 28, sebagai berikut:
Menurut Ibnu Abbas,
ulama' adalah orang-orang yang mengetahui Allah dan tidak
menyekutukanNya dengan yang lain. Menghalalkan apa yang dihalalkan oleh
Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan olehNya, yakin akan bertemu
dengan Tuhannya dan senantiasa menghitung atau berhati-hati dengan
amalnya.
Dengan demikian ulama' merupakan sekelompok orang yang
memiliki ilmu pengetahuan dan senantiasa menghubungkan diri mereka
kepada Allah. Kelebihan ilmu ini pula yang merupakan salah satu syarat
bagi seseorang untuk mendidik orang lain.
Ulama' adalah bentuk
jamak (plural) dari kata 'alīm yang berarti orang yang berilmu. Rasul
SAW dalam hadis beliau menyebut mereka dengan sebutan "pewaris" para
Nabi.*) Sebutan ini menimbulkan konsekwensi, bahwa para ulama' memiliki
peran sebagaimana para Nabi/Rasul dalam menyampaikan risalah Tuhan
(mendidik) kepada manusia lain.
Al-Qur'ān sendiri menyebut
beberapa istilah yang memiliki makna sama dengan istilah ulama, seperti ;
al lazina utu al ilm, ar rasikhuna fil ilm, ulul ilm, ulul albab, yu'ta
al hikmah, faqih fid din, ahl az zikr. Utul ilm disebutkan dalam
Al-Qur'ān sebanyak 9 kali dan 5 diantaranya memberikan penjelasan siapa
yang mendapatkan ilmu dari Allah, yaitu para malaikat, para Nabi, dan
orang mukmin seperti terdapat dalam surah al Ankabut (29) ayat 47, an
Nahl (16) ayat 27, al Haj (22) ayat 54, ar Rum (30) ayat 56 dan Muhammad
(47) ayat 16.
Al-Qur'ān juga mengistilahkan pendidik dengan
sebutan al-Wā'id. Istilah ini merupakan bentuk isim fā'il dari akar kata
wa'aza yang berarti mengajar atau menasehati. Dalam surah an-Nisā' (4)
ayat 58, disebutkan sebagai berikut:
Allah dalam hal ini juga
berfungsi sebagai pendidik yang memberikan pengajaran sebaik-baiknya
kepada Muhammad SAW. Di samping itu, dalam surah Luqman, disebutkan
sebagai berikut:
Dalam konteks pendidikan, maka Luqman berfungsi
sebagai pendidik bagi anaknya. Ia mengajarkan kepada anaknya, bahwasanya
syirik itu merupakan kedaliman. Di samping mengajarkan keimanan, ia
telah mendidik anaknya beberapa etik Islam, baik yang menyangkut
hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesamanya.
Selain itu,
Al-Qur'ān menamakan pendidik dengan sebutan al-Muballig. Istilah ini
berasal dari kata ballaga, yang berarti menyampaikan. Dalam Al-Qur'ān
surah al-Maidah (5) : 67 disebutkan sebagai berikut:
Menurut
Mugniyah, dalam tafsir al-Kāsyif, bahwa dalam ayat itu terdapat perkara
yang penting tentang perintah Allah kepada Muhammad untuk menyampaikan
risalah Tuhan kepada manusia. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban bagi
Rasul untuk memiliki sifat Tablīg, yaitu menyampaikan kepada ummatnya
apa-apa yang telah diajarkan oleh Tuhannya.
Al-Qur'ān juga
menyebutkan pendidik dengan sebutan ad-Dā'i, berasal dari akar kata
da'ā, yang berarti menyeru, mengajak, atau memanggil. Dalam Al-Qur'ān
disebutkan sebagai berikut:
Al-Maragī menyebutkan bahwa khitab
dari ayat di atas adalah orang-orang mukmin mukallaf agar memilih
sekelompok orang (ummat) untuk menyeru, mengajak, atau memanggil
(menjadi pandidik) bagi yang lain. Dengan mewajibkan bagi mereka
memiliki persyaratan sebagai berikut:
1. Mengerti Al-Qur'ān dan Sunnah serta sirah Rasul dan khulafa-urrasyidun, (memiliki ilmu pengetahuan).
2. Memiliki pengetahuan tentang keadaan jama'ah.
3. Mengerti bahasa umat (kemampuan umat) yang menjadi sasaran dakwahnya.
4. Mengerti perasaan, pengikut madhab ummat.
2. Memiliki pengetahuan tentang keadaan jama'ah.
3. Mengerti bahasa umat (kemampuan umat) yang menjadi sasaran dakwahnya.
4. Mengerti perasaan, pengikut madhab ummat.
Dari
keempat syarat yang dikemukakan oleh al Maragī tentang syarat-syarat
yang harus dimiliki oleh penyeru (dā'i) juga merupakan syarat yang harus
dimiliki oleh para pendidik.
Oleh sebab itu, Syekh Ali Mahfuz, mempersamakan dakwah dengan pendidikan, sebagaimana disebutkan di bawah ini:
Sesungguhnya
dakwah kepada kebaikan itu adalah pendidikan, dan pendidikan yang
bermanfaat itu hanyalah ada dengan amal perbuatan, karena pendidikan itu
tegak berdiri atas teladan yang baik dan uswatun hasanah.
Sebutan
lain bagi pendidik dalam Al-Qur'ān adalah al-Basyīr (pemberi kabar
gembira) dan an-Nażīr (pemberi peringatan). Dua istilah ini merupakan
salah satu fungsi Rasul bagi manusia. Disebutkan oleh Allah dalam sekali
sebutan dalam beberapa ayat. Diantaranya dalam surah al-Baqarah (2) :
119 sebagai berikut:
Mengenai ayat ini Mugniyah menyebut Rasul
sebagai pendidik yang tidak memiliki kekuasaan untuk menjadikan
seseorang itu baik dan tidak dipaksa untuk itu.24) Jadi jelas bahwa
pendidik hanyalah berusaha agar orang lain (peserta didik) menjadi baik.
Oleh
sebab itu, tidak ada berhak bagi seorang pendidik memaksakan
kehendaknya pada peserta didiknya. Sebab paksaan hanya akan menimbulkan
rasa dendam di hati peserta didiknya. Pendidikan yang didalamnya ada
unsur paksaan hanya akan melahirkan pemerkosaan atau penindasan terhadap
peserta didik.
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa unsur yang harus ada dalam pengertian pendidik Muslim sebagai berikut:
1.
Bahwa pendidik itu tidak lain adalah merupakan pihak yang berusaha
menanamkan nilai, ilmu, kecakapan kepada orang lain (peserta didik) agar
menjadi baik.
2. Bahwa usaha tu meliputi: bimbingan, mengurus, mengarahkan, mengajak, mengatur, memelihara, menumbuhkembangkan yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran.
3. Bahwa pendidik itu memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya.
4. Bahwa pendidik itu terus menerus mengendalikan aktivitas paedagogisnya pada garis yang telah ditetapkan oleh Allah.
2. Bahwa usaha tu meliputi: bimbingan, mengurus, mengarahkan, mengajak, mengatur, memelihara, menumbuhkembangkan yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran.
3. Bahwa pendidik itu memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya.
4. Bahwa pendidik itu terus menerus mengendalikan aktivitas paedagogisnya pada garis yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dengan
demikian, maka definisi pendidik adalah: pihak yang mempengaruhi orang
lain (peserta didik) dengan serangkaian aktivitas yang dilakukan dengan
penuh tanggung jawab dan kesadaran, agar seseorang menjadi baik di atas
garis yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
C. Sifat-sifat Pendidik Muslim
Tugas
sebagai pendidik merupakan tugas yang mulia dan luhur. Selain itu juga
merupakan tugas yang berat. Ia merupakan model manusia etik, betapapun
ia harus bisa ditiru (digugu lan ditiru). Jika terpaksa melakukan
kesalahan, ia harus tetap bisa ditiru, ia harus berani minta maaf,
memperbaiki dirinya.
Pendidik merupakan spiritual father atau
bapak rohani bagi peserta didiknya. Ia juga merupakan pemimpin bagi
peserta didiknya, menjadi idola sekaligus merupakan kepercayaan peserta
didiknya. Bahkan bagi peserta didik yang masih muda usianya, pendidik
merupakan sumber kebenaran yang tidak pernah berbuat salah.
Kepribadiannya
memiliki pengaruh yang besar bagi pembentukan akal dan jiwa peserta
didiknya. Dalam konteks ini, 'Uqbah bin Abī Sufyān berkata kepada
pendidik anaknya, sebagai berikut:
Hendaknya yang pertama-tama kau
lakukan sebelum memperbaiki (mendidik) anakku adalah, perbaikilah
dirimu. Karena sesungguhnya mata mereka senantiasa tertuju pada matamu.
Maka yang baik di sisi mereka adalah apa yang engkau anggap baik, sedang
yang jelek di sisi mereka adalah apa yang engkau anggap jelek.
Oleh
sebab itu, bagi seorang pendidik dituntut agar memiliki sifat-sifat
tertentu yang merupakan syarat baginya sebelum menjadi pendidik.
Sebenarnya,
telah banyak para ahli yang merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki
oleh seorang pendidik muslim, misalnya sebagai berikut:
1. Muhammad Atiyah al Abrasyī, merumuskan sebagai berikut:
a. Zuhud tidak mengutamakan materi dan melakukannya karena Allah SWT. Seorang pendidik dalam pendidikan Islam, hendaknya tidak memiliki sifat materialistis, tidak rakus terhadap dunia dan tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Meskipun demikian tidak berarti tidak mau dan tidak menerima kekayaan dunia dari pekerjaannya.
b. Kebersihan diri. Seorang pendidik harus bersih, baik pisik maupun psikisnya.
c. Ikhlas dalam pekerjaan. Seorang pendidik harus memiliki keikhlasan, sebab keikhlasan merupakan jalan menuju sukses. Termasuk ikhlas adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Melakukan apa-apa yang dikatakan dan tidak malu mengatakan tidak tahu, bila ada yang tidak diketahuinya.
d. Suka pemaaf. Seorang pendidik harus bersifat pemaaf terhadap peserta didiknya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati dan jangan pemarah karena hal-hal yang kecil.
e. Seorang pendidik merupakan seorang bapak sebelum menjadi pendidik. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti mencintai anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti memikirkan keadaan anak kandungnya sendiri.
f. Harus mengetahui tabiat peserta didik. Seorang pendidik harus mengetahui perbedaan masing-masing peserta didiknya, agar tidak tersesat dalam menjalankan tugasnya.
g. Harus menguasai mata pelajaran. Seorang pendidik harus sanggup menguasai mata pelajaran yang diajarkannya dan terus menerus mendalaminya dengan memperluas pengetahuannya.
a. Zuhud tidak mengutamakan materi dan melakukannya karena Allah SWT. Seorang pendidik dalam pendidikan Islam, hendaknya tidak memiliki sifat materialistis, tidak rakus terhadap dunia dan tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Meskipun demikian tidak berarti tidak mau dan tidak menerima kekayaan dunia dari pekerjaannya.
b. Kebersihan diri. Seorang pendidik harus bersih, baik pisik maupun psikisnya.
c. Ikhlas dalam pekerjaan. Seorang pendidik harus memiliki keikhlasan, sebab keikhlasan merupakan jalan menuju sukses. Termasuk ikhlas adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Melakukan apa-apa yang dikatakan dan tidak malu mengatakan tidak tahu, bila ada yang tidak diketahuinya.
d. Suka pemaaf. Seorang pendidik harus bersifat pemaaf terhadap peserta didiknya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati dan jangan pemarah karena hal-hal yang kecil.
e. Seorang pendidik merupakan seorang bapak sebelum menjadi pendidik. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti mencintai anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti memikirkan keadaan anak kandungnya sendiri.
f. Harus mengetahui tabiat peserta didik. Seorang pendidik harus mengetahui perbedaan masing-masing peserta didiknya, agar tidak tersesat dalam menjalankan tugasnya.
g. Harus menguasai mata pelajaran. Seorang pendidik harus sanggup menguasai mata pelajaran yang diajarkannya dan terus menerus mendalaminya dengan memperluas pengetahuannya.
2. Abdurrahman an Nahlawī, menyebutkan sebagai berikut:
a.
Hendaknya tujuan, tingkah laku dan pola pikir pendidik bersifat
rabbani. Seorang pendidik harus menjadikan Tuhan sebagai tempat
berangkat dan kembalinya segala aktivitasnya.
b. Memiliki sifat ikhlas. Seorang pendidik dengan keluasan ilmunya, hendaknya berniat hanya untuk mendapatkan keridaan Allah SWT.
c. Hendaknya memiliki sifat sabar. Seorang pendidik harus bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didiknya.
d. Hendaknya memiliki sifat jujur. Seorang pendidik harus jujur dalam menyampaikan apa yang diajarkannya. Jangan menyembunyikan ketidaktahuannya, jika memang tidak tahu. Ia harus terus menerus konsekwen dan komitmen kepada kejujuran.
e. Hendaknya senantiasa membekali diri dengan ilmu. Seorang pendidik harus senantiasa memperdalam pengetahuannya, agar senantiasa dapat dengan mudah dan leluasa menyampaikan ilmunya.
f. Hendaknya mampu menggunakan beberapa metode me-ngajar. Seorang pendidik akan dapat dengan mudah menyampaikan ilmu, nilai, norma, dan kecakapan, jika ia dapat menggunakan metode dengan tepat.
g. Hendaknya mampu mengelola peserta didiknya. Seorang pendidik harus dapat memperlakukan peserta didiknya secara tepat dan proporsional. Dengan demikian pendidik tidak akan bersikap keras dalam kondisi yang semestinya bersikap lunak, begitu pula sebaliknya.
h. Hendaknya mengetahui keadaan psikis peserta didiknya. Pengetahuan seorang pendidik terhadap kejiwaan peserta didiknya akan memudahkan kegiatan belajar mengajar. Sebab dengan demikian ia dapat dengan mudah memperlakukan peserta didiknya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.
i. Hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi perkem-bangan yang terjadi. Seorang pendidik harus mengantisipasi setiap perkembangan, gejolak yang terjadi, baik pada peserta didiknya maupun dilingkungannya. Menganalisis, memberikan pemecahan dan jalan keluar.
j. Hendaknya memiliki sifat adil. Seorang pendidik harus memperlakukan sama terhadap peserta didiknya. Jangan memilah-milah peserta didik kepada perlakuan istimewa dan tidak istimewa. Semua kebijaksanaan dan tindakannya ditempuh dengan jalan yang benar dan dengan memperhatikan setiap peserta didiknya.
b. Memiliki sifat ikhlas. Seorang pendidik dengan keluasan ilmunya, hendaknya berniat hanya untuk mendapatkan keridaan Allah SWT.
c. Hendaknya memiliki sifat sabar. Seorang pendidik harus bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didiknya.
d. Hendaknya memiliki sifat jujur. Seorang pendidik harus jujur dalam menyampaikan apa yang diajarkannya. Jangan menyembunyikan ketidaktahuannya, jika memang tidak tahu. Ia harus terus menerus konsekwen dan komitmen kepada kejujuran.
e. Hendaknya senantiasa membekali diri dengan ilmu. Seorang pendidik harus senantiasa memperdalam pengetahuannya, agar senantiasa dapat dengan mudah dan leluasa menyampaikan ilmunya.
f. Hendaknya mampu menggunakan beberapa metode me-ngajar. Seorang pendidik akan dapat dengan mudah menyampaikan ilmu, nilai, norma, dan kecakapan, jika ia dapat menggunakan metode dengan tepat.
g. Hendaknya mampu mengelola peserta didiknya. Seorang pendidik harus dapat memperlakukan peserta didiknya secara tepat dan proporsional. Dengan demikian pendidik tidak akan bersikap keras dalam kondisi yang semestinya bersikap lunak, begitu pula sebaliknya.
h. Hendaknya mengetahui keadaan psikis peserta didiknya. Pengetahuan seorang pendidik terhadap kejiwaan peserta didiknya akan memudahkan kegiatan belajar mengajar. Sebab dengan demikian ia dapat dengan mudah memperlakukan peserta didiknya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.
i. Hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi perkem-bangan yang terjadi. Seorang pendidik harus mengantisipasi setiap perkembangan, gejolak yang terjadi, baik pada peserta didiknya maupun dilingkungannya. Menganalisis, memberikan pemecahan dan jalan keluar.
j. Hendaknya memiliki sifat adil. Seorang pendidik harus memperlakukan sama terhadap peserta didiknya. Jangan memilah-milah peserta didik kepada perlakuan istimewa dan tidak istimewa. Semua kebijaksanaan dan tindakannya ditempuh dengan jalan yang benar dan dengan memperhatikan setiap peserta didiknya.
3. Al Gazalī, menyebutkan sifat-sifat pendidik muslim sebagai berikut:
a.
Memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didik. Seorang pendidik
muslim, harus berbelas kasih kepada peserta didiknya, seperti ia
berbelas kasih kepada anak kandungnya sendiri.
b. Mengikuti sahabat syara', yaitu Rasullah SAW. Seorang pendidik tidak mencari ganjaran atau gaji atau terima kasih dengan perbuatannya. Tetapi melakukannya semata karena Allah dalam rangka mencari kedekatan denganNya.
c. Tidak meninggalkan nasehat kepada peserta didik, dengan melarang mempelajari sesuatu tingkat, sebelum berhak kepada tingkat itu. Seorang pendidik harus membimbing peserta didiknya dari ilmu yang mudah ke yang sulit.
d. Tidak berlaku kasar kepada peserta didik. Seorang pendidik harus memperlakukan peserta didiknya dengan lunak, tidak membentak, menyindirnya dengan halus bila berbuat salah.
e. Tidak menjelek-jelekkan ilmu yang lain dihadapan peserta didik. Seorang pendidik tidak menghina atau melecehkan ilmu yang bukan bidangnya. Pendidik dalam bidang bahasa, tidak boleh melecehkan ilmu fiqh dan seterusnya.
f. Tidak mengajarkan sesuatu di luar kemampuan peserta didik. Seorang pendidik tidak memaksakan suatu ilmu kepada peserta didiknya di luar kemampuannya. Seperti peserta didik sekolah dasar, jangan diajar mata pelajaran sekolah menengah.
g. Memberikan atau mengajarkan pelajaran yang jelas dan tidak mengatakan, bahwa di balik yang diterangkan terdapat pengetahuan atau pembahasan yang lebih dalam. Seorang pendidik hendaklah menerangkan kepada peserta didiknya suatu pembahasan yang jelas. Jangan dikatakan kepada mereka, bahwa dibalik yang telah diterangkan ada pembahasan lagi yang lebih dalam. Sebab dengan demikian akan mengakibatkan berkurangnya minat, untuk memperdalam pelajaran atau ilmu yang telah dipelajari.
h. Hendaknya pendidik itu mengamalkan ilmunya. Seorang pendidik harus menyesuaikan antara ilmu dengan tindakannya. Mengamalkan apa yang diketahuinya, karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal perbuatan dilihat dengan mata kepala.
b. Mengikuti sahabat syara', yaitu Rasullah SAW. Seorang pendidik tidak mencari ganjaran atau gaji atau terima kasih dengan perbuatannya. Tetapi melakukannya semata karena Allah dalam rangka mencari kedekatan denganNya.
c. Tidak meninggalkan nasehat kepada peserta didik, dengan melarang mempelajari sesuatu tingkat, sebelum berhak kepada tingkat itu. Seorang pendidik harus membimbing peserta didiknya dari ilmu yang mudah ke yang sulit.
d. Tidak berlaku kasar kepada peserta didik. Seorang pendidik harus memperlakukan peserta didiknya dengan lunak, tidak membentak, menyindirnya dengan halus bila berbuat salah.
e. Tidak menjelek-jelekkan ilmu yang lain dihadapan peserta didik. Seorang pendidik tidak menghina atau melecehkan ilmu yang bukan bidangnya. Pendidik dalam bidang bahasa, tidak boleh melecehkan ilmu fiqh dan seterusnya.
f. Tidak mengajarkan sesuatu di luar kemampuan peserta didik. Seorang pendidik tidak memaksakan suatu ilmu kepada peserta didiknya di luar kemampuannya. Seperti peserta didik sekolah dasar, jangan diajar mata pelajaran sekolah menengah.
g. Memberikan atau mengajarkan pelajaran yang jelas dan tidak mengatakan, bahwa di balik yang diterangkan terdapat pengetahuan atau pembahasan yang lebih dalam. Seorang pendidik hendaklah menerangkan kepada peserta didiknya suatu pembahasan yang jelas. Jangan dikatakan kepada mereka, bahwa dibalik yang telah diterangkan ada pembahasan lagi yang lebih dalam. Sebab dengan demikian akan mengakibatkan berkurangnya minat, untuk memperdalam pelajaran atau ilmu yang telah dipelajari.
h. Hendaknya pendidik itu mengamalkan ilmunya. Seorang pendidik harus menyesuaikan antara ilmu dengan tindakannya. Mengamalkan apa yang diketahuinya, karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal perbuatan dilihat dengan mata kepala.
Sebenarnya
apa yang telah dirumuskan oleh para ahli, tentang sifat-sifat yang
harus dimiliki oleh setiap pendidik muslim, memiliki dua keadaan dalam
proses pendidikan. Pertama adalah, pendidik dalam keadaan tidak
berhadapan dengan peserta didik. Maksudnya, pendidik mendidik dirinya
sendiri. Pada tahap ini setiap Muslim yang mukallaf (dibebani hukum)
wajib mendidik diri sendiri. Sifat-sifat seperti: Zuhud, rabbani, sabar,
'alim (berilmu), adil, jujur, ikhlas dan sebagainya, merupakan sifat
yang harus dimiliki dalam rangka mendidik diri sendiri.
Kedua
adalah pendidik dalam keadaan berhadapan secara langsung (face to face)
dengan peserta didiknya. Pada tahap ini, sifat-sifat yang harus dimiliki
sebagai syarat bagi setiap pendidik Muslim adalah sebagai berikut:
1. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan fisik, meliputi:
a.
Berakal sehat. Bermodalkan akal yang sehat, seseorang dapat melakukan
perbuatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab. Oleh sebab itu, Islam
menafikan sangsi hukum bagi mereka yang tidak berakal, seperti: gila,
lupa dan tertidur. Komunikasi antara pendidik dengan peserta didik akan
berjalan dengan baik, apabila masing-masing pihak memiliki dan
menggunakan akal yang sehat. Oleh sebab itu, berakal sehat merupakan
sifat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik.
b. Kebersihan. Kebersihan, baik jasmani, pakaian maupun yang lain, akan mempengaruhi perhatian peserta didik dalam proses belajar mengajar. Pendidik yang kurang memperhatikan kebersihannya, akan menjadi perhatian peserta didiknya. Dengan demikian akan mengganggu perhatian dan konsentrasi peserta didik dalam menangkap materi yang diajarkan kepadanya.
b. Kebersihan. Kebersihan, baik jasmani, pakaian maupun yang lain, akan mempengaruhi perhatian peserta didik dalam proses belajar mengajar. Pendidik yang kurang memperhatikan kebersihannya, akan menjadi perhatian peserta didiknya. Dengan demikian akan mengganggu perhatian dan konsentrasi peserta didik dalam menangkap materi yang diajarkan kepadanya.
2. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan psikis, meliputi:
a. Rabbani. Sifat rabbani bagi seorang pendidik akan memudah-kan dalam mengantarkan peserta didiknya kepada terbentuknya manusia berkepribadian muslim, sebab pendidik selalu menjadikan Tuhan sebagai referensinya. Tujuan, tingkah laku dan pola pikirnya, selalu berpijak dari Tuhan dan untuk Tuhan. Hal ini sesuai dengan informasi Al-Qur'ān, sebagai berikut:
Dengan sifat rabbani ini, seorang pendidik mengabsahkan dirinya sebagai wakil Tuhan untuk mendidik yang lain.
b. Zuhud. Zuhud tidak berarti menolak materi, tetapi juga tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Kekayaan materi hanya merupakan sarana bagi pendidik Muslim untuk mencapai tujuan hidup. Mendidik manusia lain (peserta didik) bukan karena keinginan mengumpulkan materi kekayaan, melainkan karena keterpanggilan untuk menyampaikan risalah Tuhan.
c. Ikhlas. Seorang pendidik Muslim dalam melaksanakan tugas mengajar bukan karena keterpaksaan. Sifat ikhlas akan melahirkan pendidik yang penuh idealisme untuk membina pribadi dan masyarakat dengan benar. Ia mendidik dan mengajar manusia, semata-mata untuk mencari rida Allah. Bukan karena ingin dipuji, mendapatkan materi, jasa maupun yang lain. Dalam konteks ini, tidak berarti ia tidak boleh menerima imbalan jasa (materi) dari manusia yang dididik dan dari apa yang diajarkannya.
d. Pemaaf. Sifat pemaaf bagi seorang pendidik merupakan kendali dalam melaksanakan tugas kependidikan. Berhadapan dengan peserta didik yang nakal, ia tidak cepat naik pitam, bahkan memaafkannya. Justru dengan sifat pemaaf itulah ia akan dihormati dan disenangi oleh peserta didiknya. Keberhasilan dakwah Rasul SAW banyak disebabkan oleh sifat pemaaf yang melekat dalam diri beliau, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'ān surah Ali Imran (3) : 159 sebagai berikut:
a. Rabbani. Sifat rabbani bagi seorang pendidik akan memudah-kan dalam mengantarkan peserta didiknya kepada terbentuknya manusia berkepribadian muslim, sebab pendidik selalu menjadikan Tuhan sebagai referensinya. Tujuan, tingkah laku dan pola pikirnya, selalu berpijak dari Tuhan dan untuk Tuhan. Hal ini sesuai dengan informasi Al-Qur'ān, sebagai berikut:
Dengan sifat rabbani ini, seorang pendidik mengabsahkan dirinya sebagai wakil Tuhan untuk mendidik yang lain.
b. Zuhud. Zuhud tidak berarti menolak materi, tetapi juga tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Kekayaan materi hanya merupakan sarana bagi pendidik Muslim untuk mencapai tujuan hidup. Mendidik manusia lain (peserta didik) bukan karena keinginan mengumpulkan materi kekayaan, melainkan karena keterpanggilan untuk menyampaikan risalah Tuhan.
c. Ikhlas. Seorang pendidik Muslim dalam melaksanakan tugas mengajar bukan karena keterpaksaan. Sifat ikhlas akan melahirkan pendidik yang penuh idealisme untuk membina pribadi dan masyarakat dengan benar. Ia mendidik dan mengajar manusia, semata-mata untuk mencari rida Allah. Bukan karena ingin dipuji, mendapatkan materi, jasa maupun yang lain. Dalam konteks ini, tidak berarti ia tidak boleh menerima imbalan jasa (materi) dari manusia yang dididik dan dari apa yang diajarkannya.
d. Pemaaf. Sifat pemaaf bagi seorang pendidik merupakan kendali dalam melaksanakan tugas kependidikan. Berhadapan dengan peserta didik yang nakal, ia tidak cepat naik pitam, bahkan memaafkannya. Justru dengan sifat pemaaf itulah ia akan dihormati dan disenangi oleh peserta didiknya. Keberhasilan dakwah Rasul SAW banyak disebabkan oleh sifat pemaaf yang melekat dalam diri beliau, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'ān surah Ali Imran (3) : 159 sebagai berikut:
Sifat
pemaaf, oleh Al-Qur'ān juga disebut sebagai salah satu ciri orang-orang
yang bertakwa. Al-Qur'ān dsurah Ali Imran (3) : 134 menyebutkan sebagai
berikut:
Oleh sebab itu, setiap pendidik Muslim hendaknya
memiliki sifat pemaaf, agar kegiatan pendidikannya dapat berhasil
sebagaimana Rasul dalam mendidik ummatnya.
e. Jujur. Seorang pendidik hendaknya berkata dan bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya. Seorang pendidik Muslim hendaknya berani berkata tidak tahu, jika memang tidak tahu. Sifat jujur akan meningkatkan wibawa bagi pendidik, sebab dengan kejujuran itu, ia mengajar dan mendidik orang lain dengan apa adanya. Allah sebagai Yang Maha Pendidik memerintah hambaNya untuk berlaku jujur sebagaimana dalam firmanNya sebagai berikut:
f. Adil. Keadilan pendidik harus tercermin dan dimanifestasikan dalam sikap dan tindakannya, baik berupa pujian, hukuman, penilaian, perintah maupun larangan terhadap peserta didiknya. Memperlakukan peserta didiknya dengan tidak pilih kasih. Siapa yang bersalah harus dihukum dan yang benar harus dipuji. Sifat adil dimaksudkan memperlakukan peserta didiknya secara bijak sesuai dengan proporsinya masing-masing. Allah berfirman dalam Al-Qur'ān surah al-Maidah (5) : 8 sebagai berikut:
e. Jujur. Seorang pendidik hendaknya berkata dan bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya. Seorang pendidik Muslim hendaknya berani berkata tidak tahu, jika memang tidak tahu. Sifat jujur akan meningkatkan wibawa bagi pendidik, sebab dengan kejujuran itu, ia mengajar dan mendidik orang lain dengan apa adanya. Allah sebagai Yang Maha Pendidik memerintah hambaNya untuk berlaku jujur sebagaimana dalam firmanNya sebagai berikut:
f. Adil. Keadilan pendidik harus tercermin dan dimanifestasikan dalam sikap dan tindakannya, baik berupa pujian, hukuman, penilaian, perintah maupun larangan terhadap peserta didiknya. Memperlakukan peserta didiknya dengan tidak pilih kasih. Siapa yang bersalah harus dihukum dan yang benar harus dipuji. Sifat adil dimaksudkan memperlakukan peserta didiknya secara bijak sesuai dengan proporsinya masing-masing. Allah berfirman dalam Al-Qur'ān surah al-Maidah (5) : 8 sebagai berikut:
Keadilan adalah salah satu
sifat Tuhan dan Al-Qur'ān menekankan agar menjadikan keadilan itu
sebagai ideal moral. Oleh sebab itu, setiap pendidik muslim hendaknya
memiliki sifat adil ini.
g. Cinta. Kecintaan seorang pendidik
Muslim kepada peserta didiknya, seperti kecintaannya kepada anak
kandungnya sendiri. Dengan memiliki sifat kasih sayang ini, seorang
pendidik akan memperlakukan peserta didiknya dengan lemah-lembut. Namun
demikian tidak berarti, bahwa seorang pendidik tidak berbuat tegas
kepada peserta didiknya. Sifat tegas tetap diperlukan, sebatas
kewibawaan yang ada padanya.
Sifat-sifat yang berkaitan dengan
persyaratan psikis, sebagaimana disebutkan di atas, tidak berarti bahwa
hanya itu saja. Tetapi dengan menyebutkan tujuh sifat itu, dimaksudkan
dapat mewakili sifat-sifat yang lain, seperti: memiliki sifat
keteladanan, stabil dalam emosi, sabar, tidak mencela peserta didik dan
sebagainya.
3. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan didaktis, meliputi:
a.
Mengetahui berbagai metode pengajaran dan dapat menggu-nakannya.
Kemampuan menggunakan metode pengajaran atau metode pendidikan akan
memudahkan tercapainya tujuan yang diinginkan. Metode dan tujuan
pendidikan, merupakan hubungan sebab akibat. Artinya, ketepatan
menggunakan metode pendidikan, akan memudahkan tercapainya tujuan
pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang pendidik muslim
hendaknya memiliki pengetahuan tentang metode pendidikan.
b. Kemampuan mengelola peserta didik. Seorang pendidik hendaknya mengetahui cara menempatkan peserta didiknya ke dalam situasi belajar mengajar. Dengan demikian akan mudah baginya kapan pelajaran bisa dimulai dan kapan harus diakhiri.
b. Kemampuan mengelola peserta didik. Seorang pendidik hendaknya mengetahui cara menempatkan peserta didiknya ke dalam situasi belajar mengajar. Dengan demikian akan mudah baginya kapan pelajaran bisa dimulai dan kapan harus diakhiri.
Mengutip buku Teori Mengajar, yang ditulis
oleh Agus Mirwan, dapat ditambahkan sifat-sifat berupa kemampuan yang
harus dimiliki oleh setiap pendidik, sebagai persyaratan didaktis,
meliputi:
1) Mampu memeragakan pengajaran
2) Mampu memberi kesempatan kepada peserta didiknya untuk selalu giat atau aktif, baik jasmani maupun rohani
3) Mampu menarik perhatian
4) Mampu mendasarkan pelajaran kepada apa yang telah diketahui oleh peserta didik
5) Mampu menghubungkan pelajaran sesuai dengan pemba-waan dan kemampuan peserta didik
6) Mampu menghubungkan pelajaran yang satu dengan yang lain (korelasi dan konsentrasi)
7) Mampu mengulang-ulang pelajaran, agar peserta didiknya senantiasa ingat materi yang telah diajarkan.
1) Mampu memeragakan pengajaran
2) Mampu memberi kesempatan kepada peserta didiknya untuk selalu giat atau aktif, baik jasmani maupun rohani
3) Mampu menarik perhatian
4) Mampu mendasarkan pelajaran kepada apa yang telah diketahui oleh peserta didik
5) Mampu menghubungkan pelajaran sesuai dengan pemba-waan dan kemampuan peserta didik
6) Mampu menghubungkan pelajaran yang satu dengan yang lain (korelasi dan konsentrasi)
7) Mampu mengulang-ulang pelajaran, agar peserta didiknya senantiasa ingat materi yang telah diajarkan.
Dengan
menampilkan paham Asy'ariyah dalam teologi Islam, tentang pengakuan
bahwa Tuhan memiliki sifat karena perbuatanNya, wajib bagi setiap
pendidik Muslim memiliki sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan yang
dimaksud adalah yang termasuk dalam kelompok sifat Ma'ani, yaitu al
Qudrah, al Iradah, al Ilmu, al Hayah, as Sama', al Basar dan al Kalam.
Subtansi
sifat Tuhan, berbeda dengan subtansi sifat manusia (pendidik), karena
memang Tuhan berbeda dengan manusia. Tetapi aktualisasi dari sifat-sifat
itu, terdapat garis singgung persamaan, di balik adanya perbedaan.
Kuasa (al Qudrah) bagi manusia, tentu berbeda dengan kuasa Tuhan.
Berkehendaknya manusia akan berbeda dengan kehendak Tuhan. Ilmu manusia
akan berbeda dengan ilmu Tuhan dan seterusnya.
Selanjutnya
pendidik muslim, juga harus memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh para
Rasul Allah, sebab pendidik ---sebagai manusia yang berilmu---
merupakan pewaris para Rasul.
Sifat-sifat Rasul yang harus
dimiliki oleh pendidik Muslim adalah: as Siddiq (benar dan jujur), al
Amanah (dapat dipercaya), at Tablīg (menyampaikan), dan al Fatonah
(cerdik dan bijaksana).
Pendidik muslim dalam kapasitasnya sebagai
pewaris para Rasul, ia harus memiliki kebenaran atau kejujuran,
kepercayaan, kemampuan menyampaikan dan kecerdikan serta kebijaksanaan
seperti yang diwarisi, yakni para Rasul Allah. Dengan demikian
kebersambungan tali hubungan antara Tuhan sebagai Yang Maha Pendidik
dengan para Rasul sebagai utusanNya dan manusia (pendidik) akan terus
terjalin secara utuh.
D. Kedudukan Pendidik
Dalam
keseluruhan proses pendidikan, pendidik sebagai salah satu faktor yang
paling berpengaruh atau mempengaruhi terhadap keberhasilan pendidikan.
Ia tidak saja berperan dalam menumbuhkembangkan peserta didik, melainkan
ia juga yang membawa peserta didik kepada tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, di tangan pendidiklah output dan outcome pendidikan
itu bergantung.
Aktivitas paedagogis yang dilakukan oleh pendidik
dengan jalan menumbuhkembangkan, membimbing, mengarahkan, memelihara
potensi manusia (peserta didik), agar tetap condong dan sejalan dengan
kehendak Tuhan, merupakan tugas yang luhur dan mulia. Oleh sebab itu,
Islam sangat menghargai dan menghormati para pendidik.
Pendidik
dalam kapasitasnya sebagai orang yang berilmu pengetahuan, ditempatkan
oleh Tuhan dalam derajat yang lebih tinggi dari manusia yang lain,
walaupun sama-sama beriman. Allah berfirman dalam kitab suciNya, surah
al-Mujadilah (58) : 11 sebagai berikut:
Salah satu asbāb an nuzūl
dari ayat di atas, adalah berkenaan dengan suasana di majlis ta'līm
Rasul, di mana para sahabat berdesakan atau berebutan tempat untuk
mendengarkan nasehat beliau. Akibatnya, sahabat yang datang terlambat
tidak kebagian tempat. Maka Allah mendidik mereka, agar melonggarkan
tempat bagi yang lain. Karena dengan demikian, Allah akan memperluas
tempatnya di sorga.
Ketaatan mereka dengan perintah, karena ilmu
pengetahuan yang mereka miliki, menyebabkan terangkatnya derajat mereka.
Tuhan mengangkat mereka secara khusus beberapa derajat dalam kemuliaan
dan ketinggian tempat tinggal.
Nabi Muhammad SAW bersabda, sehubungan dengan penghormatan Islam kepada para pendidik, sebagai berikut:
Artinya
: Sesungguhnya Allah yang Maha Suci dan para malaikatNya serta semua
penghuni langit dan bumiNya, hingga semut yang ada di dalam lobangnya
dan ikan di dalam laut, tentu akan memintakan rahmat bagi pendidik
manusia kepada kebaikan.
Al Gazali melukiskan kemuliaan para
pendidik dengan perum-pamaan matahari yang menyinari jagad raya dan
dirinya sendiri bercahaya. Mereka ibarat minyak kasturi yang harumnya
dinikmati oleh yang lain, sedang ia sendiri harum. Merekalah yang
disebut besar di kolong kerajaan langit.
Jika dilihat dari sisi
peran pendidik dalam mendidik manusia agar menjadi baik, maka
kedudukannya sama dengan kedudukan seorang Rasul. Tetapi juga harus
diakui, bahwa seorang Rasul adalah manusia istimewa yang mendapatkan
wahyu dari Tuhan.
Garis singgung persamaan antara pendidik dengan
para Rasul/Nabi, disinyalir oleh Rasul SAW dalam salah satu sabdanya,
bahwa "Ulama' itu adalah pewaris para Nabi". Ulama' adalah termenologi
ilahiyah yang hanya dapat dimengerti penjabarannya melalui informasi
wahyu. Dalam surah al-Fātir (35): 28 disebutkan bahwa "Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah para ulama".
Ulama
merupakan bentuk jama' (plural) dari kata 'ālim, yaitu orang yang
memiliki ilmu pengetahuan. Dengan demikian sudah sepantasnya orang yang
berilmu itu mewarisi para Nabi untuk mendidik manusia kepada jalan
Allah.
E. Urutan Pendidik
Al Gazalī dalam al Qistas al
Mustaqim, sebagaimana dikutip oleh Roihan Achwan, menyebutkan bahwa
Allah sebagai pendidik pertama, Jibril sebagai pendidik kedua dan
Rasulullah sebagai pendidik ketiga.
Allah sebagai Yang Maha
Pendidik menduduki rangking pertama, karena Dialah yang mendidik semua
makhluk. Malaikat Jibril mendidik Rasulullah dan Rasulullah mendidik
umatnya. Dengan demikian, manusia biasa menduduki urutan keempat dalam
konsep pendidikan Islam. Berdasarkan hirarkhi pendidik seperti di atas,
nampaknya menjadi sebuah keharusan bagi manusia sebagai pendidik
menghadirkan bayangan Tuhan dalam dirinya.
Download artikel : disini
0 comments:
Posting Komentar