Sabtu, 19 November 2011

MENGHADIRKAN KEPRIBADIAN DAN SIFAT KETUHANAN DALAM DIRI PENDIDIK MUSLIM

A. Pedahuluan
Pendidik dalam keseluruhan proses pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Melalui pendidiklah aktivitas paedagogis dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Ia juga bertanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai yang telah ditetapkan untuk dimiliki oleh peserta didik. Oleh sebab itu, kehadirannya akan banyak mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri.
 
B. Pengertian Pendidik
Apabila merujuk pada beberapa istilah dalam konteks makna pendidikan, maka sedikitnya ada tiga istilah yang menunjuk pada makna pendidik, yaitu al-Mu'allim (المعلم ), al-Muaddib (المأدب), dan al-Murabbī (المربى).*)
Al-Mu'allim (isim fa'il) berasal dari akar kata 'allama (علم). Dalam bentuk kata kerja dengan segala variasinya disebut dalam Al-Qur'ān lebih dari 40 kali, tersebar dalam beberapa surah, seperti dalam ayat berikut: al-Baqarah (2) : 31 dan ar-Rahman (55) : 2, 4.
Sebagai yang Maha Pendidik, Tuhan memiliki kelebihan ilmu ---merupakan sifat--- yang diajarkan kepada manusia (Nabi Adam as) selaku peserta didik, agar ia mampu mengemban tugas kekhalifahan di atas bumi.
Adanya kelebihan ilmu, merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pendidik untuk dapat menyampaikan materi pendidikan, sehingga orang lain menjadi baik. Oleh sebab itu Islam sangat menghargai, menghormati dan memuliakan orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik.
Dengan demikian, pendidik merupakan pihak yang memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya. Melalui proses pendidikan, ia mentransformasi-kan ilmu yang dimiliki kepada manusia lain (peserta didik), agar dapat mengenal dirinya, penciptanya dan yang lainnya melalui kemampuan berfikir dengan ilmu yang dimiliki.
Al-Muaddib (isim fā'il), berasal dari akar kata addaba (بادّ). Di dalam Al-Qur'ān, kata ini tidak ditemukan penggunaannya. Kata adab diartikan sebagai al adabu yang berarti pendidikan, yaitu mendidik manusia agar beradab. Dinamai adaban, karena mendidik manusia kepada hal-hal yang terpuji dari hal-hal yang tercela. Sedang asal al adab adalah ad du'ā' yang memiliki arti panggilan atau ajakan. Lebih lanjut kata addaba muradif (sinonim) dengan kata allama yang berarti mendidik atau mengajar, sebagaimana Allah telah mendidik NabiNya Muhammad SAW.
ادّبني ربّي فأحسن تأدبي
Artinya : Tuhanku telah mendidikku, maka Dia (Allah) baguskan pendidikanku.
Dari sini diketahui bahwa pendidik merupakan pihak yang memanggil atau mengajak, membimbing dan mengarahkan manusia (peserta didik) agar beradab atau berakhlak baik, dengan melalui aktivitas paedagogis.
Manusia beradab atau berakhlak baik inilah yang oleh Muhammad Atiyah al Abrasyi disebut sebagai tujuan umum pendidikan Islam. Bahkan akhlak yang baik ini merupakan jiwa dari pendidikan Islam.
Al-Murabbī (isim fa'il), berasal dari akar kata rabba - yarubbu (يربّ - ربّ). Dalam Al-Qur'ān disebut tidak kurang dari 900 kali dalam beberapa ayat dan tersebar dalam beberapa surah, antara lain adalah: al-Fatihah (1) : 1 - 7.
Kata rabbun (ربّ), selain menunjuk pada nama Tuhan, juga memiliki arti pendidik. Syekh Ahmad Mustafa al-Maragī, menguraikan kata tersebut dengan Tuhan pendidik yang mengurus kepentingan yang dididiknya dan mengatur urusannya atau keperluannya.
Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa didikan Tuhan kepada manusia ada dua macam, yaitu:
1. Pendidikan Penciptaan, yaitu dengan menumbuhkan tubuh atau jasmani sampai dewasa menuju kesempurnaannya serta mengembangkan kekuatan jiwa dan akalnya.
2. Pendidikan Keagamaan, yaitu mendidik dengan menurunkan wahyu kepada seseorang (Rasul) agar disampaikan kepada yang lain untuk menyempurnakan akal dan membersihkan jiwa mereka.
Selain sebagai Tuhan bagi seluruh alam, Allah juga menjadi pemilik, pengatur, pemelihara, dan pendidik alam semesta. Para Malaikat, para Rasul, para Nabi, dan siapa yang dikehendakiNya, diciptakan sebagai penyambung risalah ilahiyah sekaligus sebagai khalifah dalam proses mendidik yang lain agar menjadi baik. Oleh sebab itu, mekanisme penciptaan dilakukan olehNya untuk mendidik makhlukNya, bahwa sesuatu itu terjadi melalui proses (pendidikan).
Al-Mua'allim, lebih tepat digunakan untuk menunjuk istilah pengajar, sebab hanya terbatas pada kegiatan menyampaikan atau memasukkan ilmu kepada pihak lain. Pada tahap ini aktivitas paedagogis hanya menyentuh ranah kognitif. Ranah kognitif adalah kemampuan untuk mengenal, mengetahui, menganalisis, menyusun, menyimpulkan, dan merumuskan.
Al-Muaddib, lebih tepat digunakan untuk menunjuk istilah pendidik adab atau akhlak, sebab hanya terbatas pada kegiatan penghalusan sikap agar berakhlak baik. Sasarannya adalah hati dan tingkah laku atau ranah afektif dan psikomotorik.
Aktivitas paedagogis diarahkan kepada kemampuan untuk mempertajam kepekaan rasa keindahan, kekaguman, keharuan, penghalusan sikap, budi, kecenderungan kepada yang baik dan keengganan kepada yang jahat.
Kesatuan ranah afektif dan psikomotorik belum mewakili taksonomi manusia dalam pendidikan, sebab bangun manusia dalam taksonomi pendidikan meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Taksonomi itu merupakan perpaduan cipta, rasa, dan karsa. Atau dengan kata lain, pendidikan yang mengarahkan sasarannya pada kesatuan ilmu, iman, dan amal.
Sedang istilah al Murabbi, jika dilihat dari akar kata dan kandungan arti yang dimilikinya, maka tercakup di dalamnya semua aktivitas paedagogis. Aktivitas itu meliputi kegiatan menyampaikan ilmu, mentransfer nilai, mengajak, mengarahkan, membimbing, mengurus, memelihara, mengatur dan menumbuh-kembangkan potensi manusia agar menjadi baik. Ini berarti juga, bahwa aktivitas paedagogis menyentuh ranah kognitif, afektif dan psikomotorik secara padu dan utuh.
Pendidik di dalam Al-Qur'ān diistilahkan dengan sebutan rabbani (ربّني ), seperti dalam surah Ali Imran (3) ayat 79, sebagai berikut:
Menurut Sibawīh, kata rabbaniyyin (ربّنين) bentuk mufrad (tunggal) nya adalah rabbani (ربّني), mansub dengan kata ar-rabba (الربّ). Dimaksudkan dengan rabbani adalah mengetahui Allah dengan tetap patuh dan tunduk kepadaNya.
Diriwayatkan juga, bahwasanya Muhammad Ibn Hanafiyah berkata ketika wafat Ibnu Abbas "Telah wafat pendidik umat ini".
Sedang Muhammad Jawad al Mugniyah menyebutkan bahwa rabbani adalah orang yang memahami kitab Allah dan mengamalkannya serta mengajarkan kepada orang lain. Selanjutnya ia menambahkan dengan mengutip pendapat Muhammad 'Abduh, bahwa "Manusia hanya bisa menjadi rabbani, bilamana ia memiliki ilmu dan mengamalkannya".
Pendidik dalam konteks ini, senantiasa mendasarkan aktivitas kependidikannya pada aturan Tuhan. Ia senantiasa mengamalkan ilmunya dan beramal ---mengatur, mengurus, memelihara, memiliki, memperbaiki dan menumbuhkembangkan--- dengan ilmunya kepada pihak lain (peserta didik) di atas ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Di samping rabbanī, Al-Qur'ān juga mengistilahkan pendidik dengan sebutan ulama', seperti terdapat dalam surah Fātir (35) ayat 28, sebagai berikut:
Menurut Ibnu Abbas, ulama' adalah orang-orang yang mengetahui Allah dan tidak menyekutukanNya dengan yang lain. Menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan olehNya, yakin akan bertemu dengan Tuhannya dan senantiasa menghitung atau berhati-hati dengan amalnya.
Dengan demikian ulama' merupakan sekelompok orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan senantiasa menghubungkan diri mereka kepada Allah. Kelebihan ilmu ini pula yang merupakan salah satu syarat bagi seseorang untuk mendidik orang lain.
Ulama' adalah bentuk jamak (plural) dari kata 'alīm yang berarti orang yang berilmu. Rasul SAW dalam hadis beliau menyebut mereka dengan sebutan "pewaris" para Nabi.*) Sebutan ini menimbulkan konsekwensi, bahwa para ulama' memiliki peran sebagaimana para Nabi/Rasul dalam menyampaikan risalah Tuhan (mendidik) kepada manusia lain.
Al-Qur'ān sendiri menyebut beberapa istilah yang memiliki makna sama dengan istilah ulama, seperti ; al lazina utu al ilm, ar rasikhuna fil ilm, ulul ilm, ulul albab, yu'ta al hikmah, faqih fid din, ahl az zikr. Utul ilm disebutkan dalam Al-Qur'ān sebanyak 9 kali dan 5 diantaranya memberikan penjelasan siapa yang mendapatkan ilmu dari Allah, yaitu para malaikat, para Nabi, dan orang mukmin seperti terdapat dalam surah al Ankabut (29) ayat 47, an Nahl (16) ayat 27, al Haj (22) ayat 54, ar Rum (30) ayat 56 dan Muhammad (47) ayat 16.
Al-Qur'ān juga mengistilahkan pendidik dengan sebutan al-Wā'id. Istilah ini merupakan bentuk isim fā'il dari akar kata wa'aza yang berarti mengajar atau menasehati. Dalam surah an-Nisā' (4) ayat 58, disebutkan sebagai berikut:
Allah dalam hal ini juga berfungsi sebagai pendidik yang memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepada Muhammad SAW. Di samping itu, dalam surah Luqman, disebutkan sebagai berikut:
Dalam konteks pendidikan, maka Luqman berfungsi sebagai pendidik bagi anaknya. Ia mengajarkan kepada anaknya, bahwasanya syirik itu merupakan kedaliman. Di samping mengajarkan keimanan, ia telah mendidik anaknya beberapa etik Islam, baik yang menyangkut hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesamanya.
Selain itu, Al-Qur'ān menamakan pendidik dengan sebutan al-Muballig. Istilah ini berasal dari kata ballaga, yang berarti menyampaikan. Dalam Al-Qur'ān surah al-Maidah (5) : 67 disebutkan sebagai berikut:
Menurut Mugniyah, dalam tafsir al-Kāsyif, bahwa dalam ayat itu terdapat perkara yang penting tentang perintah Allah kepada Muhammad untuk menyampaikan risalah Tuhan kepada manusia. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban bagi Rasul untuk memiliki sifat Tablīg, yaitu menyampaikan kepada ummatnya apa-apa yang telah diajarkan oleh Tuhannya.
Al-Qur'ān juga menyebutkan pendidik dengan sebutan ad-Dā'i, berasal dari akar kata da'ā, yang berarti menyeru, mengajak, atau memanggil. Dalam Al-Qur'ān disebutkan sebagai berikut:
Al-Maragī menyebutkan bahwa khitab dari ayat di atas adalah orang-orang mukmin mukallaf agar memilih sekelompok orang (ummat) untuk menyeru, mengajak, atau memanggil (menjadi pandidik) bagi yang lain. Dengan mewajibkan bagi mereka memiliki persyaratan sebagai berikut:
1. Mengerti Al-Qur'ān dan Sunnah serta sirah Rasul dan khulafa-urrasyidun, (memiliki ilmu pengetahuan).
2. Memiliki pengetahuan tentang keadaan jama'ah.
3. Mengerti bahasa umat (kemampuan umat) yang menjadi sasaran dakwahnya.
4. Mengerti perasaan, pengikut madhab ummat.
Dari keempat syarat yang dikemukakan oleh al Maragī tentang syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penyeru (dā'i) juga merupakan syarat yang harus dimiliki oleh para pendidik.
Oleh sebab itu, Syekh Ali Mahfuz, mempersamakan dakwah dengan pendidikan, sebagaimana disebutkan di bawah ini:
Sesungguhnya dakwah kepada kebaikan itu adalah pendidikan, dan pendidikan yang bermanfaat itu hanyalah ada dengan amal perbuatan, karena pendidikan itu tegak berdiri atas teladan yang baik dan uswatun hasanah.
Sebutan lain bagi pendidik dalam Al-Qur'ān adalah al-Basyīr (pemberi kabar gembira) dan an-Nażīr (pemberi peringatan). Dua istilah ini merupakan salah satu fungsi Rasul bagi manusia. Disebutkan oleh Allah dalam sekali sebutan dalam beberapa ayat. Diantaranya dalam surah al-Baqarah (2) : 119 sebagai berikut:
Mengenai ayat ini Mugniyah menyebut Rasul sebagai pendidik yang tidak memiliki kekuasaan untuk menjadikan seseorang itu baik dan tidak dipaksa untuk itu.24) Jadi jelas bahwa pendidik hanyalah berusaha agar orang lain (peserta didik) menjadi baik.
Oleh sebab itu, tidak ada berhak bagi seorang pendidik memaksakan kehendaknya pada peserta didiknya. Sebab paksaan hanya akan menimbulkan rasa dendam di hati peserta didiknya. Pendidikan yang didalamnya ada unsur paksaan hanya akan melahirkan pemerkosaan atau penindasan terhadap peserta didik.
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa unsur yang harus ada dalam pengertian pendidik Muslim sebagai berikut:
1. Bahwa pendidik itu tidak lain adalah merupakan pihak yang berusaha menanamkan nilai, ilmu, kecakapan kepada orang lain (peserta didik) agar menjadi baik.
2. Bahwa usaha tu meliputi: bimbingan, mengurus, mengarahkan, mengajak, mengatur, memelihara, menumbuhkembangkan yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran.
3. Bahwa pendidik itu memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya.
4. Bahwa pendidik itu terus menerus mengendalikan aktivitas paedagogisnya pada garis yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dengan demikian, maka definisi pendidik adalah: pihak yang mempengaruhi orang lain (peserta didik) dengan serangkaian aktivitas yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran, agar seseorang menjadi baik di atas garis yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

C. Sifat-sifat Pendidik Muslim
Tugas sebagai pendidik merupakan tugas yang mulia dan luhur. Selain itu juga merupakan tugas yang berat. Ia merupakan model manusia etik, betapapun ia harus bisa ditiru (digugu lan ditiru). Jika terpaksa melakukan kesalahan, ia harus tetap bisa ditiru, ia harus berani minta maaf, memperbaiki dirinya.
Pendidik merupakan spiritual father atau bapak rohani bagi peserta didiknya. Ia juga merupakan pemimpin bagi peserta didiknya, menjadi idola sekaligus merupakan kepercayaan peserta didiknya. Bahkan bagi peserta didik yang masih muda usianya, pendidik merupakan sumber kebenaran yang tidak pernah berbuat salah.
Kepribadiannya memiliki pengaruh yang besar bagi pembentukan akal dan jiwa peserta didiknya. Dalam konteks ini, 'Uqbah bin Abī Sufyān berkata kepada pendidik anaknya, sebagai berikut:
Hendaknya yang pertama-tama kau lakukan sebelum memperbaiki (mendidik) anakku adalah, perbaikilah dirimu. Karena sesungguhnya mata mereka senantiasa tertuju pada matamu. Maka yang baik di sisi mereka adalah apa yang engkau anggap baik, sedang yang jelek di sisi mereka adalah apa yang engkau anggap jelek.
Oleh sebab itu, bagi seorang pendidik dituntut agar memiliki sifat-sifat tertentu yang merupakan syarat baginya sebelum menjadi pendidik.
Sebenarnya, telah banyak para ahli yang merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik muslim, misalnya sebagai berikut:
1. Muhammad Atiyah al Abrasyī, merumuskan sebagai berikut:
a. Zuhud tidak mengutamakan materi dan melakukannya karena Allah SWT. Seorang pendidik dalam pendidikan Islam, hendaknya tidak memiliki sifat materialistis, tidak rakus terhadap dunia dan tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Meskipun demikian tidak berarti tidak mau dan tidak menerima kekayaan dunia dari pekerjaannya.
b. Kebersihan diri. Seorang pendidik harus bersih, baik pisik maupun psikisnya.
c. Ikhlas dalam pekerjaan. Seorang pendidik harus memiliki keikhlasan, sebab keikhlasan merupakan jalan menuju sukses. Termasuk ikhlas adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Melakukan apa-apa yang dikatakan dan tidak malu mengatakan tidak tahu, bila ada yang tidak diketahuinya.
d. Suka pemaaf. Seorang pendidik harus bersifat pemaaf terhadap peserta didiknya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati dan jangan pemarah karena hal-hal yang kecil.
e. Seorang pendidik merupakan seorang bapak sebelum menjadi pendidik. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti mencintai anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti memikirkan keadaan anak kandungnya sendiri.
f. Harus mengetahui tabiat peserta didik. Seorang pendidik harus mengetahui perbedaan masing-masing peserta didiknya, agar tidak tersesat dalam menjalankan tugasnya.
g. Harus menguasai mata pelajaran. Seorang pendidik harus sanggup menguasai mata pelajaran yang diajarkannya dan terus menerus mendalaminya dengan memperluas pengetahuannya.
2. Abdurrahman an Nahlawī, menyebutkan sebagai berikut:
a. Hendaknya tujuan, tingkah laku dan pola pikir pendidik bersifat rabbani. Seorang pendidik harus menjadikan Tuhan sebagai tempat berangkat dan kembalinya segala aktivitasnya.
b. Memiliki sifat ikhlas. Seorang pendidik dengan keluasan ilmunya, hendaknya berniat hanya untuk mendapatkan keridaan Allah SWT.
c. Hendaknya memiliki sifat sabar. Seorang pendidik harus bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didiknya.
d. Hendaknya memiliki sifat jujur. Seorang pendidik harus jujur dalam menyampaikan apa yang diajarkannya. Jangan menyembunyikan ketidaktahuannya, jika memang tidak tahu. Ia harus terus menerus konsekwen dan komitmen kepada kejujuran.
e. Hendaknya senantiasa membekali diri dengan ilmu. Seorang pendidik harus senantiasa memperdalam pengetahuannya, agar senantiasa dapat dengan mudah dan leluasa menyampaikan ilmunya.
f. Hendaknya mampu menggunakan beberapa metode me-ngajar. Seorang pendidik akan dapat dengan mudah menyampaikan ilmu, nilai, norma, dan kecakapan, jika ia dapat menggunakan metode dengan tepat.
g. Hendaknya mampu mengelola peserta didiknya. Seorang pendidik harus dapat memperlakukan peserta didiknya secara tepat dan proporsional. Dengan demikian pendidik tidak akan bersikap keras dalam kondisi yang semestinya bersikap lunak, begitu pula sebaliknya.
h. Hendaknya mengetahui keadaan psikis peserta didiknya. Pengetahuan seorang pendidik terhadap kejiwaan peserta didiknya akan memudahkan kegiatan belajar mengajar. Sebab dengan demikian ia dapat dengan mudah memperlakukan peserta didiknya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.
i. Hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi perkem-bangan yang terjadi. Seorang pendidik harus mengantisipasi setiap perkembangan, gejolak yang terjadi, baik pada peserta didiknya maupun dilingkungannya. Menganalisis, memberikan pemecahan dan jalan keluar.
j. Hendaknya memiliki sifat adil. Seorang pendidik harus memperlakukan sama terhadap peserta didiknya. Jangan memilah-milah peserta didik kepada perlakuan istimewa dan tidak istimewa. Semua kebijaksanaan dan tindakannya ditempuh dengan jalan yang benar dan dengan memperhatikan setiap peserta didiknya.
3. Al Gazalī, menyebutkan sifat-sifat pendidik muslim sebagai berikut:
a. Memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didik. Seorang pendidik muslim, harus berbelas kasih kepada peserta didiknya, seperti ia berbelas kasih kepada anak kandungnya sendiri.
b. Mengikuti sahabat syara', yaitu Rasullah SAW. Seorang pendidik tidak mencari ganjaran atau gaji atau terima kasih dengan perbuatannya. Tetapi melakukannya semata karena Allah dalam rangka mencari kedekatan denganNya.
c. Tidak meninggalkan nasehat kepada peserta didik, dengan melarang mempelajari sesuatu tingkat, sebelum berhak kepada tingkat itu. Seorang pendidik harus membimbing peserta didiknya dari ilmu yang mudah ke yang sulit.
d. Tidak berlaku kasar kepada peserta didik. Seorang pendidik harus memperlakukan peserta didiknya dengan lunak, tidak membentak, menyindirnya dengan halus bila berbuat salah.
e. Tidak menjelek-jelekkan ilmu yang lain dihadapan peserta didik. Seorang pendidik tidak menghina atau melecehkan ilmu yang bukan bidangnya. Pendidik dalam bidang bahasa, tidak boleh melecehkan ilmu fiqh dan seterusnya.
f. Tidak mengajarkan sesuatu di luar kemampuan peserta didik. Seorang pendidik tidak memaksakan suatu ilmu kepada peserta didiknya di luar kemampuannya. Seperti peserta didik sekolah dasar, jangan diajar mata pelajaran sekolah menengah.
g. Memberikan atau mengajarkan pelajaran yang jelas dan tidak mengatakan, bahwa di balik yang diterangkan terdapat pengetahuan atau pembahasan yang lebih dalam. Seorang pendidik hendaklah menerangkan kepada peserta didiknya suatu pembahasan yang jelas. Jangan dikatakan kepada mereka, bahwa dibalik yang telah diterangkan ada pembahasan lagi yang lebih dalam. Sebab dengan demikian akan mengakibatkan berkurangnya minat, untuk memperdalam pelajaran atau ilmu yang telah dipelajari.
h. Hendaknya pendidik itu mengamalkan ilmunya. Seorang pendidik harus menyesuaikan antara ilmu dengan tindakannya. Mengamalkan apa yang diketahuinya, karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal perbuatan dilihat dengan mata kepala.
Sebenarnya apa yang telah dirumuskan oleh para ahli, tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik muslim, memiliki dua keadaan dalam proses pendidikan. Pertama adalah, pendidik dalam keadaan tidak berhadapan dengan peserta didik. Maksudnya, pendidik mendidik dirinya sendiri. Pada tahap ini setiap Muslim yang mukallaf (dibebani hukum) wajib mendidik diri sendiri. Sifat-sifat seperti: Zuhud, rabbani, sabar, 'alim (berilmu), adil, jujur, ikhlas dan sebagainya, merupakan sifat yang harus dimiliki dalam rangka mendidik diri sendiri.
Kedua adalah pendidik dalam keadaan berhadapan secara langsung (face to face) dengan peserta didiknya. Pada tahap ini, sifat-sifat yang harus dimiliki sebagai syarat bagi setiap pendidik Muslim adalah sebagai berikut:
1. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan fisik, meliputi:
a. Berakal sehat. Bermodalkan akal yang sehat, seseorang dapat melakukan perbuatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab. Oleh sebab itu, Islam menafikan sangsi hukum bagi mereka yang tidak berakal, seperti: gila, lupa dan tertidur. Komunikasi antara pendidik dengan peserta didik akan berjalan dengan baik, apabila masing-masing pihak memiliki dan menggunakan akal yang sehat. Oleh sebab itu, berakal sehat merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik.
b. Kebersihan. Kebersihan, baik jasmani, pakaian maupun yang lain, akan mempengaruhi perhatian peserta didik dalam proses belajar mengajar. Pendidik yang kurang memperhatikan kebersihannya, akan menjadi perhatian peserta didiknya. Dengan demikian akan mengganggu perhatian dan konsentrasi peserta didik dalam menangkap materi yang diajarkan kepadanya.
2. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan psikis, meliputi:
a. Rabbani. Sifat rabbani bagi seorang pendidik akan memudah-kan dalam mengantarkan peserta didiknya kepada terbentuknya manusia berkepribadian muslim, sebab pendidik selalu menjadikan Tuhan sebagai referensinya. Tujuan, tingkah laku dan pola pikirnya, selalu berpijak dari Tuhan dan untuk Tuhan. Hal ini sesuai dengan informasi Al-Qur'ān, sebagai berikut:
Dengan sifat rabbani ini, seorang pendidik mengabsahkan dirinya sebagai wakil Tuhan untuk mendidik yang lain.
b. Zuhud. Zuhud tidak berarti menolak materi, tetapi juga tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Kekayaan materi hanya merupakan sarana bagi pendidik Muslim untuk mencapai tujuan hidup. Mendidik manusia lain (peserta didik) bukan karena keinginan mengumpulkan materi kekayaan, melainkan karena keterpanggilan untuk menyampaikan risalah Tuhan.
c. Ikhlas. Seorang pendidik Muslim dalam melaksanakan tugas mengajar bukan karena keterpaksaan. Sifat ikhlas akan melahirkan pendidik yang penuh idealisme untuk membina pribadi dan masyarakat dengan benar. Ia mendidik dan mengajar manusia, semata-mata untuk mencari rida Allah. Bukan karena ingin dipuji, mendapatkan materi, jasa maupun yang lain. Dalam konteks ini, tidak berarti ia tidak boleh menerima imbalan jasa (materi) dari manusia yang dididik dan dari apa yang diajarkannya.
d. Pemaaf. Sifat pemaaf bagi seorang pendidik merupakan kendali dalam melaksanakan tugas kependidikan. Berhadapan dengan peserta didik yang nakal, ia tidak cepat naik pitam, bahkan memaafkannya. Justru dengan sifat pemaaf itulah ia akan dihormati dan disenangi oleh peserta didiknya. Keberhasilan dakwah Rasul SAW banyak disebabkan oleh sifat pemaaf yang melekat dalam diri beliau, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'ān surah Ali Imran (3) : 159 sebagai berikut:
Sifat pemaaf, oleh Al-Qur'ān juga disebut sebagai salah satu ciri orang-orang yang bertakwa. Al-Qur'ān dsurah Ali Imran (3) : 134 menyebutkan sebagai berikut:
Oleh sebab itu, setiap pendidik Muslim hendaknya memiliki sifat pemaaf, agar kegiatan pendidikannya dapat berhasil sebagaimana Rasul dalam mendidik ummatnya.
e. Jujur. Seorang pendidik hendaknya berkata dan bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya. Seorang pendidik Muslim hendaknya berani berkata tidak tahu, jika memang tidak tahu. Sifat jujur akan meningkatkan wibawa bagi pendidik, sebab dengan kejujuran itu, ia mengajar dan mendidik orang lain dengan apa adanya. Allah sebagai Yang Maha Pendidik memerintah hambaNya untuk berlaku jujur sebagaimana dalam firmanNya sebagai berikut:
f. Adil. Keadilan pendidik harus tercermin dan dimanifestasikan dalam sikap dan tindakannya, baik berupa pujian, hukuman, penilaian, perintah maupun larangan terhadap peserta didiknya. Memperlakukan peserta didiknya dengan tidak pilih kasih. Siapa yang bersalah harus dihukum dan yang benar harus dipuji. Sifat adil dimaksudkan memperlakukan peserta didiknya secara bijak sesuai dengan proporsinya masing-masing. Allah berfirman dalam Al-Qur'ān surah al-Maidah (5) : 8 sebagai berikut:
Keadilan adalah salah satu sifat Tuhan dan Al-Qur'ān menekankan agar menjadikan keadilan itu sebagai ideal moral. Oleh sebab itu, setiap pendidik muslim hendaknya memiliki sifat adil ini.
g. Cinta. Kecintaan seorang pendidik Muslim kepada peserta didiknya, seperti kecintaannya kepada anak kandungnya sendiri. Dengan memiliki sifat kasih sayang ini, seorang pendidik akan memperlakukan peserta didiknya dengan lemah-lembut. Namun demikian tidak berarti, bahwa seorang pendidik tidak berbuat tegas kepada peserta didiknya. Sifat tegas tetap diperlukan, sebatas kewibawaan yang ada padanya.
Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan psikis, sebagaimana disebutkan di atas, tidak berarti bahwa hanya itu saja. Tetapi dengan menyebutkan tujuh sifat itu, dimaksudkan dapat mewakili sifat-sifat yang lain, seperti: memiliki sifat keteladanan, stabil dalam emosi, sabar, tidak mencela peserta didik dan sebagainya.
3. Sifat-sifat yang berkaitan dengan persyaratan didaktis, meliputi:
a. Mengetahui berbagai metode pengajaran dan dapat menggu-nakannya. Kemampuan menggunakan metode pengajaran atau metode pendidikan akan memudahkan tercapainya tujuan yang diinginkan. Metode dan tujuan pendidikan, merupakan hubungan sebab akibat. Artinya, ketepatan menggunakan metode pendidikan, akan memudahkan tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang pendidik muslim hendaknya memiliki pengetahuan tentang metode pendidikan.
b. Kemampuan mengelola peserta didik. Seorang pendidik hendaknya mengetahui cara menempatkan peserta didiknya ke dalam situasi belajar mengajar. Dengan demikian akan mudah baginya kapan pelajaran bisa dimulai dan kapan harus diakhiri.
Mengutip buku Teori Mengajar, yang ditulis oleh Agus Mirwan, dapat ditambahkan sifat-sifat berupa kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap pendidik, sebagai persyaratan didaktis, meliputi:
1) Mampu memeragakan pengajaran
2) Mampu memberi kesempatan kepada peserta didiknya untuk selalu giat atau aktif, baik jasmani maupun rohani
3) Mampu menarik perhatian
4) Mampu mendasarkan pelajaran kepada apa yang telah diketahui oleh peserta didik
5) Mampu menghubungkan pelajaran sesuai dengan pemba-waan dan kemampuan peserta didik
6) Mampu menghubungkan pelajaran yang satu dengan yang lain (korelasi dan konsentrasi)
7) Mampu mengulang-ulang pelajaran, agar peserta didiknya senantiasa ingat materi yang telah diajarkan.
Dengan menampilkan paham Asy'ariyah dalam teologi Islam, tentang pengakuan bahwa Tuhan memiliki sifat karena perbuatanNya, wajib bagi setiap pendidik Muslim memiliki sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan yang dimaksud adalah yang termasuk dalam kelompok sifat Ma'ani, yaitu al Qudrah, al Iradah, al Ilmu, al Hayah, as Sama', al Basar dan al Kalam.
Subtansi sifat Tuhan, berbeda dengan subtansi sifat manusia (pendidik), karena memang Tuhan berbeda dengan manusia. Tetapi aktualisasi dari sifat-sifat itu, terdapat garis singgung persamaan, di balik adanya perbedaan. Kuasa (al Qudrah) bagi manusia, tentu berbeda dengan kuasa Tuhan. Berkehendaknya manusia akan berbeda dengan kehendak Tuhan. Ilmu manusia akan berbeda dengan ilmu Tuhan dan seterusnya.
Selanjutnya pendidik muslim, juga harus memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh para Rasul Allah, sebab pendidik ---sebagai manusia yang berilmu--- merupakan pewaris para Rasul.
Sifat-sifat Rasul yang harus dimiliki oleh pendidik Muslim adalah: as Siddiq (benar dan jujur), al Amanah (dapat dipercaya), at Tablīg (menyampaikan), dan al Fatonah (cerdik dan bijaksana).
Pendidik muslim dalam kapasitasnya sebagai pewaris para Rasul, ia harus memiliki kebenaran atau kejujuran, kepercayaan, kemampuan menyampaikan dan kecerdikan serta kebijaksanaan seperti yang diwarisi, yakni para Rasul Allah. Dengan demikian kebersambungan tali hubungan antara Tuhan sebagai Yang Maha Pendidik dengan para Rasul sebagai utusanNya dan manusia (pendidik) akan terus terjalin secara utuh.

D. Kedudukan Pendidik
Dalam keseluruhan proses pendidikan, pendidik sebagai salah satu faktor yang paling berpengaruh atau mempengaruhi terhadap keberhasilan pendidikan. Ia tidak saja berperan dalam menumbuhkembangkan peserta didik, melainkan ia juga yang membawa peserta didik kepada tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, di tangan pendidiklah output dan outcome pendidikan itu bergantung.
Aktivitas paedagogis yang dilakukan oleh pendidik dengan jalan menumbuhkembangkan, membimbing, mengarahkan, memelihara potensi manusia (peserta didik), agar tetap condong dan sejalan dengan kehendak Tuhan, merupakan tugas yang luhur dan mulia. Oleh sebab itu, Islam sangat menghargai dan menghormati para pendidik.
Pendidik dalam kapasitasnya sebagai orang yang berilmu pengetahuan, ditempatkan oleh Tuhan dalam derajat yang lebih tinggi dari manusia yang lain, walaupun sama-sama beriman. Allah berfirman dalam kitab suciNya, surah al-Mujadilah (58) : 11 sebagai berikut:
Salah satu asbāb an nuzūl dari ayat di atas, adalah berkenaan dengan suasana di majlis ta'līm Rasul, di mana para sahabat berdesakan atau berebutan tempat untuk mendengarkan nasehat beliau. Akibatnya, sahabat yang datang terlambat tidak kebagian tempat. Maka Allah mendidik mereka, agar melonggarkan tempat bagi yang lain. Karena dengan demikian, Allah akan memperluas tempatnya di sorga.
Ketaatan mereka dengan perintah, karena ilmu pengetahuan yang mereka miliki, menyebabkan terangkatnya derajat mereka. Tuhan mengangkat mereka secara khusus beberapa derajat dalam kemuliaan dan ketinggian tempat tinggal.
Nabi Muhammad SAW bersabda, sehubungan dengan penghormatan Islam kepada para pendidik, sebagai berikut:
Artinya : Sesungguhnya Allah yang Maha Suci dan para malaikatNya serta semua penghuni langit dan bumiNya, hingga semut yang ada di dalam lobangnya dan ikan di dalam laut, tentu akan memintakan rahmat bagi pendidik manusia kepada kebaikan.
Al Gazali melukiskan kemuliaan para pendidik dengan perum-pamaan matahari yang menyinari jagad raya dan dirinya sendiri bercahaya. Mereka ibarat minyak kasturi yang harumnya dinikmati oleh yang lain, sedang ia sendiri harum. Merekalah yang disebut besar di kolong kerajaan langit.
Jika dilihat dari sisi peran pendidik dalam mendidik manusia agar menjadi baik, maka kedudukannya sama dengan kedudukan seorang Rasul. Tetapi juga harus diakui, bahwa seorang Rasul adalah manusia istimewa yang mendapatkan wahyu dari Tuhan.
Garis singgung persamaan antara pendidik dengan para Rasul/Nabi, disinyalir oleh Rasul SAW dalam salah satu sabdanya, bahwa "Ulama' itu adalah pewaris para Nabi". Ulama' adalah termenologi ilahiyah yang hanya dapat dimengerti penjabarannya melalui informasi wahyu. Dalam surah al-Fātir (35): 28 disebutkan bahwa "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah para ulama".
Ulama merupakan bentuk jama' (plural) dari kata 'ālim, yaitu orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Dengan demikian sudah sepantasnya orang yang berilmu itu mewarisi para Nabi untuk mendidik manusia kepada jalan Allah.

E. Urutan Pendidik
Al Gazalī dalam al Qistas al Mustaqim, sebagaimana dikutip oleh Roihan Achwan, menyebutkan bahwa Allah sebagai pendidik pertama, Jibril sebagai pendidik kedua dan Rasulullah sebagai pendidik ketiga.
Allah sebagai Yang Maha Pendidik menduduki rangking pertama, karena Dialah yang mendidik semua makhluk. Malaikat Jibril mendidik Rasulullah dan Rasulullah mendidik umatnya. Dengan demikian, manusia biasa menduduki urutan keempat dalam konsep pendidikan Islam. Berdasarkan hirarkhi pendidik seperti di atas, nampaknya menjadi sebuah keharusan bagi manusia sebagai pendidik menghadirkan bayangan Tuhan dalam dirinya.

Download artikel : disini

0 comments:

Posting Komentar

  ©Template by Blogger. Design By Tips dan Trik Blog