Sabtu, 19 November 2011

Menimbang Peran Pendidikan Islam dalam Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan

Kehidupan dan peradaban manusia diawal melenium ketiga ini mengalami banyak perubahan,dalam merespon fenomena tsb manusia berpacu mengembangkan pendidikan baik di bidang ilmu sosial,ilmu alam,ilmu pasti maupun ilmu ilmu terapan.dan tanpa disadari bahwa abad XXI yang baru berusia delapan tahun ini telah menggiring kita untuk berada pada era of human capital, yakni suatu masa dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi cukup pesat. Dalam proses transformasi besar-besaran yang terjadi pada abad ini, human capital merupakan pusat perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri (industrial society) dan kemudian menuju masyarakat ilmu (knowledge society).
Konsekwensi logisnya bahwa keberadaan sumber daya manusia Muslim Indonesia harus unggul dan memadai untuk berperan menjadi global player. Ketersediaan sumber daya manusia Muslim yang unggul tersebut mengantarkan bangsa Indonesia dapat menggerakkan sektor perekonomian, politik, budaya, pendidikan dan lainnya berbasis syari’ah.
Artinya, di era ilmu pengetahuan dan teknologi ini, pendidikan Islam dituntut melakukan antisipasi baik pada tingkat konsep maupun amal nyata. Sebab, kesiapan dunia pendidkan Islam dalam memasuki tahap ini banyak bergantung pada akurasi dan antisipasi yang dilakukan, termasuk kejelian dalam mengidentifikasi permasalahan dan tanda-tanda zaman.
Mengapa hal ini penting, karena disadari bahwa salah satu problemnya perkembangan ilmu pendidikan Islam tergolong lamban. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua faktor; Pertama, ”paradigma” pendidikan Islam dipandang belum mapan; Kedua, teori-teori ilmiah yang bersentuhan dengan pendidikan Islam tergolong langka.  Praktek pendidikan Islam selama ini lebih dominan sekedar mengambil alih dari teori-teori pendidikan Barat yang dikonsultasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis.
Dalam konteks inilah perlu diupayakan pencarian konsep baru tentang  “Pendidikan Islam dalam persektif al-Qur’an” agar memnculkan pemikiran-pemikiran segar tentang teori pendidikan yang integral antara ilmu dan wahyu, sistematis dan bersifat operasional terhadap pendidikan Islam itu sendiri.

Konsep Pendidikan Islam dalam al-Qur’an Tidak Dikhotomis
Islam sebagai agama yang universal memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan yang bahagia. Kebahagiaan hidup manusia itulah yang menjadi sasaran hidup manusia yang pencapaiannya sangat bergantung pada masalah pendidikan. Selain itu, pendidikan merupakan kunci untuk membuka pintu ke arah modernisasi.  Maka modernisasi hanya bisa dicapai melalui pemberdayaan pendidikan. Dengan demikian, modernisasi juga menjadi tujuan ajaran Islam. Akan tetapi moderniasasi yang menjadi tujuan Islam itu harus sesuai dengan tolok ukur  ajarannya. Untuk mewujudkannya, Islam telah memiliki konsep dalam persoalan pendidikan, misalnya dikenal istilah tarbiyah, al-ta’dib juga al-ta’lim. Lafal yang terkahir ini terdapat dalam surat al-Baqarah, ayat 31-32, yang sering dirujuk oleh para ahli untuk proses pengajaran. Karena istilah al-ta’lim menunjukkan terjadinya proses pengajaran kepada Adam yang tidak diberikan Allah kepada para makhluk lain-nya tanpa ada dikhotomi “ilmu” dan “ilmu islami”.
Terjadinya dikhotomi “ilmu” dan “ilmu islami” perlu dicermati sejarahnya. Sebab terminologi ilmu itu sendiri menunjuk kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan dihimpun melalui teknik pengamatan yang obyektif. Namun sebenarnya “ilmu” dan “pengetahuan” hanyalah merupakan produk dari suatu proses atau aktivitas. Rasulullah saw, sendiri menurut al-Razi, diutus sebagai petunjuk beragama dan untuk mengatur tata kehidupan dunia. Sehingga fungsi al-Qur’an tidak hanya menyuruh umatnya untuk mengutamakan amalan keakhiratan tetapi juga amalan duniawi. Keperluan antar keduanya harus proporsional dengan penekanan bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia. Karena akhirat itulah yang abadi. Demikian halnya, Islam  tidak pernah memisahkan secara diametral.
Islam sangat mengakui keberadaan pengalaman inderawi, rasio dan makna dibalik fakta sebagai sumber pengetahuan manusia. Namun tidak berarti Islam sepenuhnya menerima teori keilmuan Barat yang empiris, rasionalis dan fenomenologis sebagai dasar filsafat ilmunya. Terhadap dasar ilmu itu, Islam menjadikannya sekedar sebagai sumber-sumber pengetahuan yang harus tunduk kepada keteraturan dan kemutlakan aturan–aturan Allah. Sebab ilmu itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain dalam menjalankan fungsi kekhalifahan. Jadi, jelaslah bahwa ilmu dalam Islam itu tidak bebas nilai, sebab kalau bebas nilai, akan menimbulkan kesulitan, kehancuran dan kebinasaan. Hal ini muncul apabila pemilik ilmu memanfaatkannya untuk keperluan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai moral. Inilah nampaknya yang dijadikan dasar upaya Islamisasi ilmu yang meliputi segala cabang ilmu. Tujuan gerakan itu adalah revitalisasi Islam, yaitu untuk lebih menyelaraskan kehidupan muslim dengan syari’ah dan kehidupan sosial yang lebih luas.

Pertumbuhan Iptek: Menimbang Peran Pendidikan Islam
Dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu, pendidikan Islam harus bisa membentuk manusia yang berpribadi mulia, yang tidak hanya tahu dan bisa berperan sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga harus menghiasinya dengan moral yang tinggi. Persoalan manusia menjadi baik adalah masalah nilai. Kebaikan ini tidak hanya berkenaan dengan fakta dan kebenaran ilmiah-rasional, akan tetapi juga menyangkut penghayatan dan pembinaan yang lebih bersifat afektif. Kebaikan tidak sekedar bersifat kognitif. Titik tolak atau motivasi mencari ilmu dan tujuan akhir dari proses pendidikan harus karena Allah. Hal yang sama bahwa untuk penjelajahan dalam mencari ilmu harus dimulai dengan bismi rabbik (diisi dengan nilai-nilai ketuhanan). Ilmu yang dianggap bebas nilai harus diisi dengan nilai-nilai rabbani. Karena itu, pendidikan Islam dituntut untuk bisa mencetak manusia yang memiliki wawasan rasional-etis dan wawasan etis–religius. Artinya, ilmu yang diperoleh peserta didik dari lembaga pendidikan Islam harus mencerminkan nilai–nilai rasional (ilmiah) yang dibarengi dengan kebaikan moral yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan (Islam). Sehingga  apabila salah satu dari tiga komponen (rasional, etik dan religi) itu masih belum dicapai secara simultan, maka sistem pendidikan yang dijalankan dapatlah dinyatakan belum berhasil. Agar tujuan ilmu yang dirumuskan dapat tercapai, perlu memiliki metodologi ilmiah yang jelas.
Metode ilmiah ini dimaksudkan sebagai prosedur dan cara yang dipergunakan para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara menyusun, mengulang kembali dan menguji kebenarannya.  Sebab, teori kebenaran yang bisa mendasari semua pengetahuan islami, menurut Islamil al-Faruqi adalah teori kebenaran kesatuan yang terdiri atas tiga prinsip uatama; Pertama, ilmu itu harus berdasarkan pada wahyu dan tidak boleh bertentangan pada realitas. Kedua, tidak boleh ada kontroversi dan perbedaan antara nalar dan wahyu. Dan ketiga, pengamatan dan penelitian terhadap alam semesta tidak mengenal akhir.
Jika hal ini sudah dilakukan, maka kebenaran ilmu pengetahuan yang dihasilkan bersifat integral dan tidak mengenal kontroversi di antara unsur-unsur yang ada. Selain itu, kebenaran yang dihasilkan juga mengandung unsur teologis karena Allah mencipta manusia dan menurunkan rasul dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan manfaat alam semesta yang bernilai pengabdian menuju ridlanya.

Download artikel : disini

0 comments:

Posting Komentar

  ©Template by Blogger. Design By Tips dan Trik Blog