PENDIDIKAN MULTIKULTURAL YANG MENGEMBANGKAN PESERTA DIDIK
Kerangka konseptual yang digunakan untuk mengembangkan model
pendidikan multikultural terdiri dari tiga unsur. Pertama, uraian secara
konseptual tentang asumsi teoritik (premis) yang digunakan untuk
mengembangkan pendidikan multikultural. Kedua, definisi tautologis dan
oprasional tentang pendidikan multikultural. Ketiga, pembahasan pedoman
umum dalam menterjemahkan teori ke dalam sebuah tindakan mendidik
(educational endeavors). Keempat, prinsip dasar pengembangan silabus dan
model pembelajaran multikultural berdasarkan kompetensi.

Asumsi
teoritik yang digunakan dalam mengembangkan model pendidikan dan/atau
program pembelajaran multikultural adalah sebagai berikut.
Pertama,
bahwa sekolah-sekolah belum sepenuhnya terpenuhi kebutuhannya, baik itu
kebutuhan sosial maupun kebutuhan akademiknya. Substansi pembelajaran
(materi pelajaran) di sekolah belum sepenuhnya digali dari khasanah
sosial dan kultural esensial (suku, agama, ras, tradisi, kearifan lokal
dan sebagainya) masyarakat, khususnya masyarakat minoritas termasuk yang
miskin, yang tidak/kurang berpendidikan, maupun yang berspektif
jender. Dikebanyakan masyarakat Indonesia, wanita sering memperoleh
peran dan kedudukan tak adil dibandingkan pria. Perlakuan kurang adil
disebabkan oleh harapan masyarakat yang bersifat stereotip, akibatnya
wanita menjadi subordinasi kaum pria. Konsekuensinya maka kurikulum
pendidikan multikultural mengandung unsur-unsur keadilan gender, suku,
agama, ras maupun kelompok-kelompok minoritas.
Kurikulum
pendidikan multikultural dirancang sedemikian rupa sehingga menyediakan
kesempatan untuk memperoleh dan menikmati pendidikan bermutu dan tidak
segregatip. Praktek-praktek kurikulum yang segregatip akan melanggengkan
dan meligitimasi ketimpangan dan disparitas dalam masyarakat (Hamilton,
1973; Amoda, 1972; McCoy, 1970; Fantini, 1970; Baumann, 1999).
Kedua,
bahwa lingkungan sosial pebelajar justru sering mengorbankan hampir
semua kebutuhan dan jati diri pebelajar di sekolah. Suzuki lebih lanjut
berpandangan bahwa:
“The sociocultural milieu of the schools
has victimized all students by reinforcing and perpetuating prejudicial
attitudes and values, and inadequately developing their capacity for
understanding and critically analyzing pressing social problems,
thereby, giving them little help in developing the moral commitment and
the necessary skills for the building of a more equitable and therefore,
better society (1979:47).
Ketiga, bahwa dengan semakin
banyaknya kampanye, kothbah atau ceramah tentang nilai-nilai seperti
demokrasi, kebebasan, keadilan, persamaan derajat dan sejenisnya, maka
struktur sosial sekolah akan dapat mempromosikan nilai serta prilaku
yang baik dan ideal. Misalnya, sistem penjurusan atau kegiatan lomba
sering memiliki dampak terbalik (counter productive) terhadap nilai
kerjasama, altruistik dan elitis. Sebaliknya struktur sekolah yang
egalitarian sering menciptakan suasana konformitas, loyal, setia, taat
dan sejenisnya, yang sesungguhnya membunuh sikap memberdayakan diri
(Harsono, 2000; Sumartana, 2001; Suparlan, 2001;
Susetyo, 2001).
Sepatutnya sekolah sebagai tempat pembelajaran bagi siswa dari berbagai
kultur yang berbeda-beda, sebab melalui proses belajar mengajar
melahirkan tingkah laku sosial, menyepakati norma dan nilai bersama
membangun struktur kelembagaan.
Keempat, bahwa sekolah
tidak dapat menghindar dari kegiatan mentransmisikan nilai kepada anak
didik. Banyak nilai-nilai luhur ditransmisikan lewat kurikulum
tersembunyi (Widja, 2001; Hasan,2000). Dalam anggapan ini terselip pula
anggapan bahwa tidak seorang pendidik-pun yang luput dari kewajiban
untuk mentransmisikan nilai kepada anak didik. Pendidikan multikultural
bertujuan untuk ‘promoting some rather explicit values such as
democracy, freedom, equality and resfect for diversity’ (Suzuki,1979;
cfWCEFA, 1999; UNESCO, 1992). Demikian pula anak didik diasumsikan
bersikap bebas, tidak ada beban psikologis dan merasa terdorong untuk
bertanya atau mengkritisi nilai-nilai tersebut dan bebas untuk menerima
atau menolak nilai-nilai yang disodorkan kepadanya. Dalam asumsi ini
terkandung sikap dan unsur kreatifitas, produktifitas dan kemandirian
pada anak (Ford, 1979; Gay, 1977).
Kelima, sekolah
memiliki kemampuan untuk beroperasi sendiri dalam mentransmisikan
nilai-nilai luhur tersebut, maka dari itu sekolah hanya berfungsi
sebagai wahana utama perubahan sosial. Peran pendidik yang paling utama
adalah membantu siswa untuk dapat mengkonseptualisasikan dan
mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik. Pendidik juga
memiliki peran membantu siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan,
pemahaman yang memungkinkan perubahan-perubahan yang diperlukan.
Pendidik diasumsikan dapat meningkatkan kualitas sekolah bagi
kepentingan siswa secara historis selalu dimarjinalisasi.
B. Konsep Multikulturalisme
Upaya
membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud
apabila; (1) konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami
pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa
Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan
menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan pemahaman diantara para ahli
mengenai multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya
dan (3) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan
cita-cita ini (Suparlan, 2002:2).
Konsep multikulturalisme
tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa
atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragamaan kebudayaan dalam
kesederajatan. Multikulturalisme juga mengulas berbagai permasalahan
yang mendukung ideologi ini, yakni politik dan demokrasi, keadilan dan
penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, Hak Asasi Manusia, hak
budaya komuniti dan golongan minoritas , prinsip-prinsip etika dan moral
dan tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainya yang
lebih relevan (Fay, 1996; Rex, 1985; Suparlan, 2002). Sama halnya dengan
Blum (dalam Atmadja, 2003), mengatakan, multikulturalisme meliputi
sebuahpemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan
sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
Ia
meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain,
bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan
tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat
mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.
Sedangkan
Spradely (1997), menitikberatkan multIkultural pada proses transaksi
pengetahuan dan pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk
menginterpretasikan pandangan dunia mereka yang berbeda untuk menuju ke
arah kebaruan kultur. Kata multikultural menjadi pengertian yang sangat
luas (multi-discursive), tergantung dari konteks pendefinisian dan
manfaat apa yang diharapkan dari pendefinisian tersebut. Yang jelas
dalam kebudayaan multikultural setiap individu mempunyai kemampuan
berinteraksi dan bertransaksi meskipun latar belakang kultur
masing-masing berbeda, karena sifat manusia antara lain; (1) akomodatif,
(2) asosiatif, (3) adaptabel , (4) fleksibel, (5) kemauan untuk saling
berbagi.
Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa keberagaman kultur
mengandung unsur jamak serta sarat dengan nilai-nilai kearifan. Dalam
kontek membangun tatanan sosial yang kokoh, maka nilai-nilai
kearifanitu, dapat dijadikan sebagai sumbu pengikat dalam berinteraksi
dan bersosialisasi antar individu atau antar kelompok sosial. Hanya
dengan mempersempit perselisihan budaya yang tidak kondusif, maka siklus
kehidupan sosial masyarakat yang majemuk akan terwujud dalam
prinsip-prinsip dasar yang bisa saling menghargai, menghormati dan
menjaga satu dengan yang lain.
Menurut Sitaresmi (2003), peneliti
dari Bandung, memperkenalkan paradigma multikulturalisme pada anak,
dapat dilakukan melalui dua cara. Yang pertama adalah menyampaikan pesan
tentang multikulturalisme dengan memberi contoh kehidupan sehari-hari,
dan cara kedua secara tidak langsung, yaitu dengan menyampaikan cerita
yang berisi pesan tentang multikulturalisme, antara lain dari dongeng,
legenda, dan fabel.
Dalam penelitian Sitaresmi mengenai fungsi
fabel dalam pewarisan kebudayaan kepada anak, Sitaresmi berkesimpulan
bahwa fabel atau dongeng binatang sangat mudah dipahami oleh anak, baik
simbol bahasa, karakter, perilaku maupun interaksinya. Penelitian
dilakukan di Sanggar Kukuruyuk, sebuah sanggar permainan dan teater anak
di Denpasar Bali.
Penilaian dan argumentasi yang kontekstual
seperti dikatakan Sitaresmi sangat dibutuhkan dalam membangun paradigma
multikulturalisme. Tentu saja diperlukan bantuan penjelasan tentang
pengakuan adanya perbedaan yang melingkupi setiap karakter dalam fabel,
kesepakatan yang terjadi, serta akibat buruk yang muncul kalau
homogenitas dipaksakan menjadi penyelesaian akhir. Itu akan sangat
membantu terbentuknya pemahaman tentang paradigma multikulturalisme pada
diri anak.
Untuk itu diperlukan suatu strategi yang mampu
menjembatani hambatan-hambatan untuk berinteraksi dalam masyarakat
multikultural, yakni dengan melalui lembaga pendidikan, diharapkan dapat
menjadi alternatif pemecahan yang berfungsi mentranformasikan
nilai-nilai multikultural kepada anak bangsa. Dengan asumsi bahwa setiap
orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan mereka saling
berinteraksi demi tercapainya kebutuhan sosial mereka dan kepuasan yang
diperoleh berkat pertukaran pesan berdasar prilaku yang
melatarbelakanginya. Sekolah adalah tempat pembelajaran bagi siswa dari
berbagai kultur yang berbeda-beda- melalui proses belajar
mengajar-melahirkan tingkah laku sosial, menyepakati norma dan nilai
bersama membangun struktur kelembagaan.
Apa yang menjadi harapan
pendidikan multikulturalisme tersebut di atas memang tidak mudah untuk
diaplikasikan, sebab harus diakui bahwa secara psikologis hidup
seseorang seperti diistilahkan Purwasito (2003), ahli komunikasi
sosial-budaya yakni penyakit sosial yang menjangkiti dan menggerogoti
benih-benih nasionalisme individu yang disebut “hama budaya” yang
merupakan sikap apriori dan apatis dari suatu komunitas etnis, agama dan
ras tertentu dengan komunitas etnis, agama dan ras yang lain.
Pandangan
yang skeptis dan penilain yang apriori terhadap budaya lain, pada
faktanya hanya akan mempertebal kebekuan primordialisme dan
etnosentrisme ditengah kehidupan berbangsa. Padahal di sisi lain, gejala
disitegrasi sosial semakin menganga, dan itu hanya mungkin bisa
dieliminasi melalui proses pencairan sikap dan prilaku, agar
individu-individu atau kelompok sosial masyarakat lainnya, dapat
menampilkan sosok yang egaliter, terbuka, demokratis dan semangat
kebersamaan dan sistem hidup yang disepakati secara universal. Pandangan
secara skeptis dan apriori terhadap keragaman budaya, akan
menenggelamkan cita-cita besar bagi terwujudnya masyarakat madani yang
multikulturalistik.
Mengacu pada pandangan dan konsep di atas,
maka multikulturalisme mempunyai relevansi makna dan fungsi yang tepat.
Untuk itulah maka konsep tersebut menjadi penting dikembangkan dan
diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-nilai bagi masyarakat
bangsa yang beragam. Prinsip-prinsip dasar multikulturalisme yang
mengakui dan menghargai keberagaman, akan sangat membantu bagi
terjadinya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan
menjanjikan ditengah kehidupan masyarakat yang majemuk.
1. Pendidikan Multikultural
Pendidikan
multikultural (multicultural education) tidak persis sama dengan
enkulturasi ganda (multiple enculturation). Sizemore (1978:2) membedakan
antara pendidikan multikultural dengan enkulturasi ganda. Menurut
Sizemore (1978) enkulturasi lebih menekankan pada integrasi struktural,
yang mengaburkan makna akulturasi dengan enkulturasi. Pendidikan
multikultural menurutnya merupakan sebuah proses pemerolehan pengetahuan
untuk dapat mengontrol orang lain demi sebuah kehidupan (survival).
Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau
mengerti (difference) atau “politics of recognition”, politik pengakuan
terhadap orang-orang dari kelompok minoritas (cf. Tylor et al (1994)
dalam Azra, 2002).
Dalam penelitian ini definisi yang relatif
sempurna tentang pendidikan multikultural diadopsi dari Suzuki (1979)
yang pada dasarnya memiliki kemiripan dengan pandangan Fay (1996), Jary
dan Jary (1991) dan Watson (2000) sebagai berikut.
“Multicultural
education is an educational program which provides multiple learning
environments that properly match the academic and social needs of the
students. These needs may vary widely due to differences in the race,
sex, ethnicity or social class background of the students in addition to
developing their basic academic skill; the program should help students
develop a better understanding of their own backgrounds and of other
groups that compose our society. Through this process the program should
help students to respect and appreciate cultural diversity, overcome
ethnocentric and prejudicial attitudes, and understand the
socio-historical, economic and psychological factors that have produced
the contemporary conditions of ethnic polarization, inequality and
alienation. It should also foster their ability to critically analyze
and make intelligent decisions about their real-life problems and issues
through a process of democratic, dialogical inquiry. Finally, it should
help them conceptualize and aspire toward a vision of a better society
and acquire the necessary knowledge, understanding and skills to enable
them to move the society toward a greater equality and freedom, the
eradication of degrading poverty and dehumanization decency, and the
development of meaningful identity for all people’.(hal. 47-48).
Secara
operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya adalah program
pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi pebelajar
(multiple learning environments) dan yang sesuai dengan kebutuhan
akademik maupun sosial anak didik.
Anderson dan Cusher (dalam
Hasan: 2001) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan keragaman
kebudayaan. Definisi ini mengandung unsur yang lebih luas, meskipun
demikian posisi kebudayaan masih sama yakni mencakup keragaman
kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari sebagai objek studi. Dengan
kata lain keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus
diperhatikan, khususnya bagi rencana pengembangan kurikulum. Azra (2002)
menjelaskan pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan
interkultural, diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau
mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok
manusia seperti; toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama,
diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal serta
subyek-seubyek lain yang relevan. Inkorporasi pendidikan multikultural
ke dalam program pendidikan anak juga memiliki harapan dan cita-cita
(Pramono, 1999:6).
Berikut adalah beberapa daripadanya:
1. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai pluralisme budaya.
Artinya,
pluralisme budaya itu tidak hanya ditoleransi tetapi juga dirangkul dan
keragaman pengalaman manusia itu diharapkan memberi kearifan.
Pluralisme budaya itu seperti “…having just as much value as
biodiversity, it brings us into contact with the full range of human
experienceand wisdom (The World Commision on Culture and Development,
1998).
2. Pendidikan multikultural merupakan sebuah
alternatif daripada membiarkan anak memperoleh sendiri pengalaman
pluralisme budaya- sporadis dan fragmentaris. Cara seperti ini hanya
akan menghasilkan distorsi dan inadekuasi.
3. Pendidikan
multikultural secara eksplisit mengakui dan menyambut keragaman dari
warisan etnik yang ditemukan dalam diri setiap orang yang disebut “orang
Indonesia” dan oleh karena itu menolak pandangan bahwa sekolah harus
berupaya mencairkan perbedaan kultural atau sebaiknya hanya mentoleransi
pluralisme budaya.
4. Pendidikan multikultural tidak memaksa atau
menolak anak karena identitas suku, agama, ras, golongan. Keinginan
keluarga perlu diketahui dan dihargai. Sebagian keluarga mungkin tidak
dapat mengidentifikasi dengan pasti warisan etnik mereka, dan keluarga
lain mungkin tidak tertarik untuk melakukan hal itu. Masih ada keluarga
yang memiliki warisan campuran sehingga mengidentifikasi semacam ini
menjadi kurang bermakna. Yang lain mengetahui warisan mereka akan tetapi
tidak mau anak-anak mereka untuk membangun rasa identitas etnik yang
kuat. Untuk keluarga-keluarga ini “Indonesia” adalah satu-satunya
identitas “etnik” yang dicari bagi anak-anak mereka. Pendidikan
multikultural yang direncanakan secara cermat akan cocok bagi semua
anak, baik yang mencari maupun tidak mencari rasa identitas etnik
mereka.
5. Pendidikan multikultural mengakui kebutuhan dan manfaat anak untuk berbagi bersama (sharing) diversitas warisan etnik mereka.
6.
Pendidikan multikultural mengakui pentingnya semua anak memiliki banyak
kesempatan untuk berinteraksi secara positif dan personal dengan
anak-anak dari berbagai latar belakang sosio-ekonomi dan warisan budaya.
7.
Pendidikan multikultural memberikan setiap siswa kesempatan untuk
membantu berkembangnya sense of self. Ini terutama bagi anak-anak yang
secara ekonomi tidak beruntung dan apalagi berasal dari sebuah kelompok
etnik yang relatif terisolasi atau yang memiliki sejarah penderitaan
panjang akibat diskriminasi dan prasangka. Dengan belajar tentang dan
bangga terhadap keunikan warisan budayanya sendiri, anak tersebut akan
terbantu dalammenjawab pertanyaan “Siapakah saya ?”. Pertanyaan yang
sama juga akan dijawab bagi anak-anak yang melalui sharing dengan
anak-anak dengan latar etnik yang lain. Apakah anak-anak itu
mengembangkan identitas etnik yang kuat ataukah tidak, yang pasti mereka
semua pada waktu itu mempelajari kekayaan multikultural dari identitas
mereka sebagai orang Indonesia.
Tujuan program pendidikan
multikultural adalah untuk membantu siswa: (1) memahami latar belakang
diri dan kelompok dalam masyarakat, (2) menghormati dan mengapresiasi
kebhinekaan budaya dan sosio-historis etnik, (3) menyelesaikan
sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh purbasangka, (4) memahami
faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang
menyebabkan terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan
etnik (5) meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis
masalah-masalah rutin dan isu melalui proses demokratis melalui sebuah
visi tentang masyarakat yang lebih baik, adil dan bebas dan (6)
mengembangkan jati diri yang bermakna bagi semua orang.
Definisi
dan tujuan pendidikan multikultural yang diajukan pada bagian terdahulu
sesuai dengan asumsi-asumsi yang digunakan di depan tentang sebuah
masyarakat plural (pluralistic society). Batasan tentang pendidikan
multikultural lain umumnya mengandung asumsi implisit bahwa pluralisme
kultural dapat ditingkatkan dalam konteks struktur sosial yang telah
ada. Sedangkan definisi pendidikan multikultuaral yang diadopsi dari
Suzuki (1978), Pramono (1999) didasarkan pada asumsi awal bahwa sekolah
dapat memainkan peranan besar dalam mengubah struktur sosial sebuah
masyarakat. Ini tidak berarti bahwa sekolah satu-satunya lembaga sosial
yang dapat mengubah struktur sosial sebuah masyarakat, tetapi dalam
pengertian ini bahwa sekolah dapat menjadi wahana atau menjadi sebuah
alat bagi sebuah perubahan sosial dari masyarakat. Guru-guru dapat
membantu siswanya mengkonseptualisasi dan menumbuhkan aspirasi tentang
sebuah struktur sosial alternatif serta memungkinkan siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan untuk berubah. Definisi dan tujuan inilah
yang akan dikembangkan menjadi sebuah program pendidikan multikultural
pada sekolah-sekolah yang memiliki latar belakang dan kebhinekaan
sosio-historis, budaya, ekonomi dan psikologi.
Pendidikan
multikulturalisme dalam kontek Indonesia, penting untuk dikembangkan.
Hal ini mengingat faktor kebhinekaan bangsa Indonesia, dan faktor-faktor
lain yang menjadi pengalaman bangsa Indonesia. Terjadinya pristiwa
disintegrasi sosial dan konflik selama ini, semakin perlu untuk di
antisipasi secara tepat, dan hal yang paling memungkinkan adalah melalui
program pendidikan multikulturalisme.
Persoalannya kemudian
adalah, kesungguhan dalam merumuskan pendidikan multikulturalisme dalam
kontek Indonesia yang tepat semangat dan tepat tujuan. Itulah pentingnya
untuk dilakukan banyak kajian atau penelitian, sehingga dapat
memberikan gambaran dan bahkan acuan bagi kebutuhan lebih lanjut.
2. Menerjemahkan Konsep Pluralisme Budaya ke dalam Praktek
Pendidikan
MultikulturalUntuk mengembangkan sebuah model pembelajaran
multikultural diperlukan sebuah cara dalam menerjemahkan sebuah
pendekatan (approach), menjadi sebuah atau lebih metode (methods), dan
selanjutnya dikembangkan beberapa strategi atau teknik (strategies)yang
konsisten dengan metode dan pendekatan yang telah diambil (cf.Anthony,
1975).
Dalam penelitian ini, pengembangan metode dan strategi
pendidikan multikultural berangkat dari konsep atau filosofi pluralisme
budaya (cultural pluralism). Pendidikan multikultural merupakan sebuah
prosedur (metode) untuk melembagakan (institusionalisasi) filosofi
kebhinekaan budaya di sekolah (Suzuki,1978; Reed dan Bergerman,1992).
Pada umumnya, kebhinekaan budaya mengacu pada sebuah situasi atau
keadaan bukan sebuah tujuan. Salah satu definisi kebhinekaan budaya yang
diadopsi dari the National Coalition of Cultur Pluralism adalah sebagai
berikut, bahwa:
“Cultural pluralism refers to a state of
equel co-existence in a mutually supportive realtionship within the
boundaries or framework of one nation of people of diverse cultures,
with significantly different patterns of belief, behavior, color and in
many cases with different languages” (hal.45).
Untuk dapat
disebut sebagai pluralisme budaya, maka harus terjadi ke-ekaan dalam
kebhinekaan. Masing-masing orang harus sadar akan jati dirinya dan
mengamankan jati diri tersebut, serta menghormati budaya lainnya sama
seperti ia menghormati budayanya sendiri.
Pluralisme budaya
memvisikan sebuah masyarakat multi etnik yang saling menghormati dan
mengapresiasi berbagai budaya, dan memiliki hak yang sama dalam kerangka
pelestarian dan pengembangan tradisi budayani masing-masing
(cf.Hamilton, 1973; Mrshall, 1966; Fantini, 1970).
Namun definisi demikian memiliki kelemahan dalam beberapa hal. Pertama,
definisi itu mengimplikasikan bahwa budaya dari sebuah etnik tertentu
memegang peran sentral dalam menentukan tata hubungan dalam masyarakat
yang lebih luas. Akibatnya muncul rasisme, bias jender, ketimpangan dan
masalah sosial lainnya.
Pemusatan pada satu budaya etnik tidak
menyediakan sebuah situasi ko-eksistensi antar berbagai budaya. Dampak
yang akan terjadi pada pendidikan multikultural antara lain
dimasukkannya materi pelajaranyang memberikan penekanan secara eksklusif
pada salah satu budaya sentral, sehingga mengenyampingkan budaya-budaya
etnik lainnya (Suparlan, 2000; Sumartana,2001). Atau, materi kurikulum
merupakan kumpulan dari materi-materi yang bersumber dari berbagai etnik
yang terajut dalam masyarakat yang lebih besar (Ramlan,2001).
Kedua,
definisi demikian tidak menyajikan pluralisme budaya yang ‘bermata dua’
dan dialektis. Memang tidak cukup hanya menyemboyankan ‘bhineka tunggal
ika’ karena hal tersebut dapat mengundang konflik etnik yang kompleks.
Perhatian yang kurang terhadap sifat dialektik dari berbagai budaya akan
memicu konflik antar etnik sewaktu-waktu (cf.Petterson,1990; Banks
& Banks,1989).
Ketiga, definisi demikian cendrung
menghadirkan relativitas budaya (a cultural relativism). Relativitas
budaya mengindikasikan agar semua budaya dilestarikan dan dipertahankan
serta dihormati. Pandangan demikian akan membawa pendidikan
multikultural ke romantisme dum-kultur. Keempat, definisi demikian
mengaplikasikan bahwa perubahan diperlukan untuk mencapai suatu keadaan
yang dicita-citakan, sehingga pluralisme budaya dapat dicapai melalui
struktur sosial yang ada dalam masyarakat (cf.Puglisi dan Hoffman,1978).
Jika
dilihat dari latar bergeraknya konflik, maka ada tiga faktor utama yang
jika di refleksikan secara jujur dan objektif menjadi sumber pokok
terjadinya konflik. Ketiga faktor tersebut masing-masing adalah setting
historis, political conditioning, dan setting cultural. Dalam kontek
ini, setting historis sangat mungkin membentuk mental ummat (manusia)
menjadi sentimentil dan sensitif reaktif, sedangkan setting cultural
membentuk sikap keberagaman masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang
paternalis dan bahkan fanatis. Diakui bahwa, potensi konflik yang
paling besar terletak pada political conditioning. Dalam wilayah politik
dan kekuasaan kosa kata minoritas dan mayoritas terus teraktualisasi
dalam berbagai dimensi kepentingan yang terselubung di dalamnya melalui
hembusan isu SARA (Lake,2002:103). Maka menjadi penting artinya bagi
bangsa Indonesia untuk menanamkan dan menjabarkan sekaligus mengajarkan
ide tentang pluralisme dalam relasi kehidupan sosial politik yang
konprehensif. Tindakan yang paling efektif dan mempunyai makna jangka
panjang, mesti dilakukan melalui pendidikan.
Dalam penelitian ini,
konsep pluralisme budaya yang akan digunakan sebagai landasan
konseptual dalam pengembangan model pendidikan multikultural diadopsi
dari konsep Suzuki (1979), yaitu:
“In may view, the
development of an ideal society compatible with cultural pluralism would
require the elimination of most the centralized bureaucracies, large
cooprations, and over-congested urban centers and their replacement by a
decentralized system of self-governing communities” (hal.46).
Berlandaskan
pada konsep pluralisme budaya demikian, maka program pembelajaran
multikultural yang akan dikembangkan merupakan sebuah program pendidikan
yang menyediakan lingkungan belajar ganda kepada siswa (multiple
learning environments) yang memiliki kesesuaian dengan kebutuhan dasar
akademik dan sosial siswa. Model pembelajaran multikultural yang
dikembangkan dan akan diarahkan pada pencapaian kompetensi-kompetensi
sebagai berikut:
1. Mengembangkan kompetensi akademik standar dan
dasar (standard and basic academic skills) tentang nilai-nilai persatuan
kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat atau saling
menghargai dalam keragaman budaya;
2. Mengembangkan kompetensi
sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman (a better understanding) tentang
latar belakang budaya sendiri dan budaya lain dalam masyarakat;
3.
Mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisis dan membuat
keputusan yang cerdas (intelligent decisions) tentang isu-isu dan
masalah keseharian (real-life problems) melalui sebuah proses demokratis
atau inkuiri dialogis (dialogical inquiry).
4. Membantu
mengkonseptualisasi dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih
baik, demokratis dan memiliki persamaan derajat.
C. Pendidikan Multikultural di Indonesia
Suparno
dalam tulisannya (Kompas,2003) mengatakan bahwa, bila bangsa ini ingin
menjadi kuat dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan
menghargai dari tiap orang yang beraneka ragam itu sehingga dapat saling
membantu, bekerja sama membangun negara ini lebih baik. Memang kita
sudah mempunyai dasar filosofis negara, Pancasila yang diimplementasikan
dalam UUD 1945. Namun, dasar itu akan kuat bila sikap menghargai orang
lain dikembangkan. Terjemahan dari visi pendidikan multikultural,
sebagaimana menjadi banyak tawaran dan gagasan para ilmuwan selama ini,
dalam kontek Indonesia mempunyai keserasian filsafati dari pesan dan
nilai-nilai dasar Pancasila.
Pada beberapa tema substansi dan
semangat pokok, terdapat kesamaan unsur-unsur usaha. Hal ini bisa dikaji
dalam dimensi-dimensi yang sangat mendasar seperti; ketuhanan,
kemanusiaan, kebangsan/kerakyatan, demokrasi dan keadilan sosial.
Tema-tema besar tersebut, secara implisit menjadi pesan bagi pencapaian
visi pendidikan multikultural, dan itu sepaham dengan ajaran Pancasila.
Sejalan dengan pemikiran Purwasito (2003) terkait dengan bentuk
sosialisasi dan membudayakan sharing of culture antar etnis, akan lebih
tepat jika materi yang diajarkan berlandaskan dasar-dasar falsafah
pancasila, sehingga dalam sosialisasi tersebut tidak terjadi
superioritas budaya tertentu dan dianggap inferioritas pada budaya lain.
Sosialisasi dapat dilakukan dengan mendekatkan berbagai gagasan dan
keyakinan yang tumbuh dan berkembang dalam etnisitas, membuka cita-cita,
harapan-harapan hidup yang dimiliki oleh setiap individu dari setiap
daerah.
1. Tema Ketuhanan
Parsudi Suparlan (2001)
mengemukakan bahwa agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran yang
tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk
untuk hidup selamat di dunia dan di akherat (setelah mati), yakni
sebagai manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beradab dan
manusiawi, yang berbeda dari cara-cara hidup makhluk lainnya. Agama
sebagai keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai
yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dan menjadi
pendorong atau penggerak serta pengontrol dari tindakan-tindakan
anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan
nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Madjid (2001),
mengatakan bahwa yang relevan dalam kehidupan masyarakat adalah
bagaimana suatu agama dipahami dan dihayati dalam kehidupan nyata,
dengan berbagai dampaknya yang mungkin saja tidak seluruhnya positif
bagi kehidupan manusia.
Ada dua dimensi keberagamaan yang memiliki
keterkaitan dalam kehidupan para umat pemeluk agama (Madjid (2001),
yakni (1) Agama oleh pemeluknya dijadikan sebagai pandangan hidup yang
menjelaskan keberadaan manusia di dunia, menjelaskan arah dan tujuan
hidup manusia, (2) Agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, tetapi juga mengatur kehidupan manusia antara sesama manusia dan
juga dengan mahluk Tuhan lainnya.
Dengan demikian agama juga
terkait erat dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat seperti
kekerabatan, kepemimpinan politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga
agama bersifat operasional dalam kehidupan sosial manusia. Ada
keteraturan dan kedisiplinan yang semestinya ditaati oleh manusia dalam
melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.
Budaya
disiplin dengan sendirinya mengandung semangat perhitungan tidak hanya
untuk kepentingan sesaat saja tetapi lebih ditekankan manfaatnya untuk
kelak kemudian hari. Sikap disiplin (Madjid, 1997), mengharuskan adanya
keinsafan bahwa hidup seorang individu tidak terlepas dari hidup orang
banyak. Unsur terpenting dalam membangun sikap disiplin adalah adanya
kesedian untuk tidak mementingkan dan mendahulukan kesenangan diri
sendiri dan menyadari dirinya adalah bagian dari keseluruhan masyarakat.
Oleh
karena itu tema Ketuhanan; dimaksudkan untuk membentuk sikap sadar
terhadap nilai-nilai, norma-norma religiusitassiswa, meyakini dan
menjalankan ajaran agama sesuai dengan agama dan kepercayaanya dalam
berkehidupan pada masyarakat yang beragam, sehingga terjalin
keharmonisan hidup dalam keragaman.
Tema ketuhanan mencakup aspek- aspek antara lain:
1.
Ketaqwaan adalah Suatu sikap dan prilaku siswa yang mencerminkan
ketaatan, ketundukan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Indikatornya adalah:
a. Keimanan yaitu, sikap dan prilaku yang mencerminkan keyakinan dan kepercayaan individu/ siswa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Ketaatan yaitu sikap dan prilaku yang mencerminkan ketundukan dan
kepatuhan dalam menjalani perintah dan menghindari larangan agama.
2.
Toleransi yaitu, suatu sikap menenggang rasa (menghargai, membolehkan)
orang lain untuk beragama, berkepercayaan, berpendirian dan berpendapat
berbeda dengan diri individu. Indikatornya adalah:
a. Tenggang
rasa yakni menghormati pilihan dan cara berekspresi orang lain dalam
menjalankan ibadah yang sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
b.
Kesadaran yaitu sikap sadar diri individu dalam memahami, menghargai
dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya serta sikap sadar dalam
mengakui adanya keragaman keyakinan yang diyakini orang lain.
2. Tema Kemanusiaan
Dalam
sistem nilai budaya bangsa Indonesia nilai tolong menolong itu
mengandung empat konsep (Muhiet, 2001) yaitu: (1) manusia di dunia ini
tidak hidup sendirian, tetapi dikelilingi oleh masyarakatnya,
komunitasnya dan alam sekitarnya, (2) secara khakiki manusia akan
bergantung dengan sesamanya, (3) karena itu mereka harus berusaha
memelihara hubungan baik dengan sesamanya atas dasar sama rata sama
rasa, (4)dan oleh sebab itu mereka harus sedapat mungkin bersifat
konform, guyub, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam
komunitas berasas pada jiwa sama tinggi dan sama rendah.Karena itu tema
Kemanusiaan; dimaksudkan dapat membentuk sikap perduli dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dengan mengakui persamaan derajat,
persamaan hak dan persamaan kewajiban sesama manusia.
Tema kemanusiaan mencakup aspek: Humanis dan Kesederajatan.
1. Humanis adalah suatu sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
Indikatornya:
a. Mencintai sesama manusia
b. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
2.
Kesederajatan adalah suatu sikap mengakui adanya persamaan derajat,
persamaan hak dan persamaan kewajiban sebagai sesama manusia.
Indikatornya:
a. Persamaan derajat dilihat dari agama,, suku bangsa, ras, jender dan golongan
b. Persamaan hak dari segi, pendidikan, pekerjaan dan kehidupan yang layak
c. Persamaan kewajiban sebagai hamba Tuhan, sebagai individu dan anggota masyarakat.
3. Tema Persatuan dan Kesatuan
Semangat
kebangsaan (Purwasito, 2003), diterjemahkan sebagai nasionalisme, yaitu
cinta tanah air atau patriotisme. Semangat kebangsaan adalah keinginan
secara sukarela menerima orang lain dalam kehidupan bersama atau
pengakuan yang tumbuh dari kesadaran seseorang untuk bersedia hidup
berbagi dan bekerja sama menjalin persaudaran dalam format bangsa
Indonesia. Maka sifat sukarela, sadar dan penuh keterbukaan untuk dapat
hidup berdampingan dan keragaman bisa ditumbuh kembangkan melalui
pendidikan dengan konsep multikulturalisme. Yakni suatu pendidikan yang
mengedepankan semangat kekeluargaan (fratenity), solidaritas sosial
(solidarity), dan keterikatan antar siswa yang pluralistik tersebut
yakni perinsip keadilan (justice), kesederajatan (egality), kebebasan
(liberty) mengembangkan diri, peluang dan kesempatan (opportunity) yang
sama dalam mengejar prestasi individu.
Sarana yang paling penting
untuk menjadi kekuatan pemersatu bangsa (Swasono, 2001; Wisnawa, 2001),
adalah kebudayaan nasional. Untuk berfungsi secara efektif sebagai suatu
kekuatan pemersatu bangsa, kebudayaan nasional harus dibina dengan cara
mengisinya dengan nilai-nilai budaya yang dapat membentuk pola pkir
bangsa yang berorientasi pada kebersamaan dan kerjasama serta kecintaan
kepada tanah air dan bangsa, dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara.Kesatuan yang terbentuk atas aneka ragam etnis, ras, agama,
kepercayaan dan budaya yang memang cukup absurd untuk dapat bertahan
dalam wadah sebuah negara kesatuan kecuali dengan adanya semangat
nasionalisme yang tinggi (Purwasito, 2003:150)
Menanamkan
orientasi kebersamaan dan kerjasama, cinta tanah air dan bangsa serta
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara merupakan nilai-nilai yang
perlu dijadikan prioritas bagi pembinaan kebudayaan nasional (Swasono,
2001: 77).
Dengan demikian, tema Persatuan dan Kesatuan; yang
dimaksud dapat membentuk pikiran, pemahaman dan sikap atau prilaku yang
senantiasa mengutamakan keutuhan dan kedaulatan kolektif sebagai warga
masyarakat dan warga bangsa dengan semangat pluralitas antar buadaya.
Aspek-aspeknya antara lain :
1.
Mengutamakan keutuhan bangsa yaitu menciptakan kehidupan yang harmonis
antar sesama warga bangsa yng mempunyai keragaman budaya dalam rangka
mewujudkan bangsa yang bersatu. Indikatornya:
a. Cinta tanah air
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa
c. Memajukan pergaulan antar sesama manusia
4. Tema Kerakyatan
Salah satu bentuk budaya masyarakat Indonesia adalah Budaya musyawarah mufakat.
Nurholis
Madjid (1997), memformulasikan elemen musyawarah sebagai faktor yang
mampu menciptakan “harmoni ummat” secara khakiki. Melalui musyawarah
mengundang partisipasi yang “egaliter’ dari semua anggota masyarakat,
sekalipun dalam kenyataan tentu terdapat variasi pelaksanaan tekhnisnya.
Tema
Kerakyatan dimakdsudkan dapat membentuk sikap yang demokratis, terbuka
terhadap keragaman, menghargai aspirasi antar sesama serta menjunjung
tinggi nilai-nilai kebenaran dalam mewujudkan masyarakat pluralis yang
damai dan bermartabat.
Aspek-aspeknya antara lain:
1.
Mengutamakan kepentingan bersama, yaitu suatu sikap yang lebih
mengedepankan kepentingan bersama tanpa dibatasi oleh unsur-unsur
keragaman budaya. Indikatornya:
a. Suka bekerjasama
b. Mendahulukan kepentingan orang banyak
c. Memiliki kesadaran dan kemauan saling membantu tanpa pamrih
2.
Mengutamakan Musyawarah dan Mufakat, yaitu suatu sikap yang lebih
mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan permasalahan
untuk kepentingan bersama. Indikatornya:
a. Mengutamakan musyawarah dan mufakat
b. Menghargai pendapat orang lain
c. Tidak memaksakan kehendak dan pendapat terhadap orang lain
d. Kritis terhadap setiap permasalahan
3.
Kekerabatan, yaitu suatu sikap bersahabat, kekeluargaan yang lahir dari
rasa persaudaraan dan menjadi bagian dari kelompok dan masyarakat.
Indikatornya:
a. Memiliki rasa setiakawan
b. Memiliki rasa persaudaraan dengan berbagai suku bangsa dan agama
c. Menghayati dan memahami berbagai budaya bangsa
5. Tema Keadilan
Pendidikan
multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang
dari suku, budaya, dan nilai berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak
melihat nilai budaya lain, sehingga mengerti secara dalam, dan akhirnya
dapat menghargainya.
Modelnya bukan dengan menyembunyikan budaya
lain, atau menyeragamkan sebagai budaya nasional, sehingga budaya lokal
hilang (Suparno,2003).
Pengakuan terhadap pluralitas budaya
merupakan suatu keadaran untuk mengurangi batas atau sekat-sekat budaya
dan itu bisa terwujud apabila proses transpormasi antar budaya dibangun
dengan citra dan cita-cita yang penuh persahabatan dan perdamaian.
Tema
Keadilan, dimaksudkan dapat membentuk sikap empati terhadap orang lain
serta memiliki kepekaan sosial terhadap sesama manusia, merasa sama dan
sederajat dalam hubungan sosial dan anti terhadap diskriminasi atau
marjinalisasi.
Aspek-aspeknya antara lain:
1. Menjaga
keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu: suatu sikap sadar dalam menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajibannya sebagai manusia. Indikatornya:
a. Menghormati hak orang lain
b.
Mendahulukan kewajiban daripada hak, dengan ciri :mentaati aturan,
tidak main hakim sendiri, bekerja dengan baik, menangkal pengaruh
negatif budaya lain dan melestarikan budaya nasional.
c.
Menempatkan hak dan kewajiban secara seimbang, dengan ciri: setiap
pelanggar hukum harus ditindak, berperan serta dalam kegiatan-kegiatan
sosial, tanggap dan peduli pentingnya stabilitas nasional.
2.
Rasionalitas antar budaya, dimaksud sebagai suatu sikap yang menganggap
bahwa dengan menggunakan pikiran secara cerdas dapat memecahkan segala
bentuk permasalahan yang dihadapi dalam masyarakat multi-budaya.
Indikatornya:
a. Mengakui budaya sendiri dan budaya orang lain
b. Memahami budaya sendiri dan budaya orang lain
c. Menghargai budaya sendiri dan budaya orang lain
3.
Anti diskriminasi dan marjinalisasi, yaitu suatu sikap yang menunjukkan
kesamaan hak dan kesempatan dalam aktivitas kehidupan sebagai warga
manusia. Indikatornya:
a. Anti terhadap subordinasi peran dan tanggungjawab
b. Mengakui adanya potensi yang sama dalam berekspresi
c. Mengakui adanya kesempatan yang sama dalam pelayanan publik
Download artikel : disini
Posting Komentar