Pembentukan Karakter Dalam Sekolah
Pada mulanya yaitu sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti
sekarang ini, maka pendidikan dijalankan secara spontan dan langsung
dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga. Anak-anak petani langsung
mempelajari tentang kelautan dan perikanan dengan langsung mengikuti
orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang
dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan
norma-norma yang berhubungan denan pekerjaannya. Maka pendidikan pada
waktu itu merupakan sesuatu yang konkret, dan tidak direncanakan tetapi
langsung berhubungan dengan keperluan hidup (Bdk dengan tulisan Ignas Kleden dalam ‘Basis’ No. 03-04 tahun 45 Mei-Juni, 1996).
Pendidkan sesungguhnya
berkaitan erat dengan manusia. N Driyarkara memandang bahwa manusia dan
pendidikan merupakan dua sisi dari satu kehidupan. Melalui pendidikan
seseorang dapat dimanusiakan menjadi manusia. Persoalannya adalah,
apakah kita di negeri ini sudah sampai ideal seperti itu? Lembaga
pendidikan di Indonesia ternyata gagal berperan sebagai pranata sosial
yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai
normatif kebangsaan yang dicita-citakan.
Munculnya banyak kasus
yang destruktif dalam konteks kebangsaan, misalnya terjadinya sentimen
antaretnis, perselisihan antarsuku, kasus-kasus narkoba, tawuran
antarpelajar, kekerasan terhadap anak, menunjukkan karakter kebangsaan
Indonesia saat ini lemah. Saat kebijakan pendidikan masih sering
berorientasi politik dengan cara berpikir proyek paradigmanya. Belum ada
usaha serius untuk mencari akar dari segala keterpurukan bangsa ini
pada pendidikan. Pendidikan juga belum membawa anak didik pada kesadaran
akan dirinya sendiri sebagai manusia yang berpikir untuk merdeka yang
mana peserta didik sejak awal dilatih memiliki wawasan yang luas
mengenai realitas. Pendidikan di negeri ini belum mencerminkan sejauh
mana proses transformasi sosial telah berhasil.
Pendidikan kita
tidak pernah jujud di dalam mengajar nilai-nilai kebenaran karenasemua
dilakukan di area formalisme belaka. Sistem pendidikan kita hanya
mengandalkan cara berpikir yang bermuatan kurikulum, bukan pada
pembentukan karakter anak didik.
Tanpa habitus baru,
pendidikan akan selalu dijadikan pertarungan politik abadi. Di balik itu
semua, ada keresahan yang mendapat karena pendidikan cuma dijadikan
alat politisasi. Terlebih, peserta didik mengalami frustasi sosial amat
parah sebab tidak memperoleh hak untuk mendapatkan pengetahuan yang
selayaknya. Kita membutuhkan habitus baru untuk mengelola pendidikan jika tidak mau melihat kehancuran bangsa ini 1-20 tahun yang akan datang.
Pembentukan karakter di sekolah
Deng
Xiaoping dalam program reformasi pendidikannya pada tahun 1985 secara
eksplisit mengungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter. Throughout
the reform of the education system, it is emperative to bear in mind
that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into
a man or woman of character and cultivating more constructive members
of society (‘Decisions of Reform of the Education System’, 1985).
Karena itu program pendidikan karater telah menjadi kegiatan yang
menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang pra-sekolah sampai
universitas.
Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter
untuk 1,3 miliar menjadi manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli
terhadap sesama, rendah hati, terbuka), Indonesia tentunya bisa
melakukannya. Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak terdengar
dari para pemimpin kita. Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung
jawab, kita semua bisa melakukannya dalam sekolah.
Pembentukkan
karakter yang dilakukan dalam sekolah-sekolah kita mempunyai beberapa
fungsi strategis untuk menumbuhkan kesadaran diri. Kecakapan kesadaran
diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang
Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian
dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan
diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun
lingkungannya. Dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, seseorang akan
terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta
mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan
dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak
berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan Yang Maha
Esa, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Kesadaran
diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang
pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan
diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun
kesadaran dirilebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk
menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan
menjadi perilaku keseharian.
Kecakapan kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi pertama,
kesadaran diri sebagai hamba Tuhan diharapkan mendorong yang
bersangkutan untuk beribadah sesuai dengan tuntutan agama yang dianut,
berlaku jujur, bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan
yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu termasuk bagian dari akhlak yang
diajarkan oleh semua agama? Kedua, kesadaran diri bahwa manusia
sebagai makhluk sosial akan mendorong yang bersangkutan untuk berlaku
toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang
menyakiti orang lain. Bukankah memang Tuhan YME menciptakan manusia
bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling
membantu? Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya
disinergikan? Ketiga, kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan
merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Tuhan YME sebagai kholifah
di muka bumi dengan amanah memelihara lingkungan. Dengan kesadaran itu,
pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kewajiban
ibadah kepada Tuhan YME, sehingga setiap orang akan terdorong untuk
melaksanakan.
Keempat, kesadaran diri akan potensi yang
dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya merupakan bentuk syukur kepada
Tuhan. Dengan kesadaran itu, siswa akan terdorong untuk menggali,
memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan
oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, sejak
dini siswa perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki (sebagai hamba Tuhan) dan kemudian mengoptimalkan kelebihan
yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Jika siswa menyadari
memiliki potensi olahraga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan
potensi tersebut menjadi olahragawan yang berprestasi. Demikian pula
untuk potensi jenis lainnya. Walikelas, guru bimbingan konseling, guru
bimbingan karier, bahkan semua guru perlu dan dapat berperan dalam
mendorong siswa mengenal potensi yang dimiliki dan mengoptimalkan
menjadi prestasi belajar.
Kelima, kesadaran tentang
pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rohani) diharapkan mendorong
untuk memelihara jasmani dan rohaninya, karena keduanya merupakan
karunia Tuhan yang harus disyukuri. Oleh karena itu, menjaga kebersihan,
kesehatan, baik jasmani maupun rohani, merupakan bentuk syukur kepada
Tuhan yang dilakukan. Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana
pengembangan kesadaran diri seperti itu, misalnya biologi dan olahraga
dapat menjadi wahana yang sangat bagus untuk kesadaran memelihara
jasmani, sedangkan agama, kewarganegaraan, sastra dapat menjadi wabana
pemeliharaan rohani. Sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, potensi yang
dikaruniakan kepada kita harus dikembangkan, sehingga setiap orang harus
mengembangkan potensiyang dikaruniakanNya. Pengembangan potensi
dilakukan dengan mengasah atau melatih potensi itu. Dan itu berarti
setiap orang harus terus-menerus belajar.
Jika kesadaran diri
sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan,
serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu
menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi
yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja
memiliki potensi yang berbeda.
Tentunya, pendidikan karakter
adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral,
seperti kewarganegaraan, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di
Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui
proses knowing the good, loving the goog, and acting the good yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Sedangkan
pendidikan moral, misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya
melibatkan aspek kognitif (hapalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan
praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal
isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang
sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin
hubungan harmonis dengan sesama.
Dalam hubungan ini maka apa yang
disarankan Unesco perlu diperhatikan yaitu bahwa pendidikan harus
mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know). (b) belajar untuk berbuat (learn to do). (c). belajar untuk bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being
menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat
penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme
sempit, penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan
bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai
perbedaan pendapat tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas
sosial dan lingkungan dan sebagainya merupakan beberapa hal dari unsur
pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur
ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-Kanak hingga
perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu
saja diperlukan.
Dampak pendidikan karakter
Apa
dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa
penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari
beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah
buletin Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dariUniversity of Missouri
- St Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih
prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan
karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan
karakter menunjukkan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang
dapat menghambar keberhasilan akademik
Pendidikan karakter ada-lah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan
karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan
secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang
anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal
penting dalam mempersiapkan anak menyongong masa depan karena dengannya
seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan,
termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Dalam buku Emotional Intelligence and School Succes (Joseph Zins, et. al
2001) mengkomplikasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh
kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa
ada sederet faktor-faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah.
Faktor-faktor risiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada
kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri,
kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi,
rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata
80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen
ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai
masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesuliran belajar,
bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah
ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah dan kalau tidak ditangani
akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang
berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari
masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenalan, tawuran,
narkoba, miras, perilaku seks bebas dan sebagainya.
Pendidikan
karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan
karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapat
pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan
berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orangtua yang lebih
mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain
itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orangtua yang gagal
dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena
lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi
dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.
Jadi, pendidikan
karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgen untukdilakukan.
Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka
tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Mahatma Gandhi
memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu "education without character" (pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: "Intelligence plus character... that is the good od true education" (Kecerdasan plus karakter.... itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: "To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society". Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.
Download artikel : disini
0 comments:
Posting Komentar