Peran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pengantar
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan per menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella (Spanyol) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus (?). Lalu di abad XIX Orang Eropa perlu 2 minggu untuk memperoleh berita pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada 1969, dengan sarana komunikasi canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai ke Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja. Subhanallah…
Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Pada tahun 1995, Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata telah disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik Luigi (Kompas, 16/01/1995). Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal usul sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri (Hadipermono, 1995). Bioteknologi dapat digunakan untuk mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang sukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan pada manusia (human cloning). Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian.
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi
sangat penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan
agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya
mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama
Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern?
Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan
pemanfaatan teknologi tersebut.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Untuk
memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu
pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method)
(Jujun S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan
ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
manusia sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri, 1986). Perkembangan iptek,
adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas,
memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang dimaksud
di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan
Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan
uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).
Bagaimana hubungan agama
dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang
mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Lihat
Yahya Farghal, 1990: 99-119):
Pertama, paradagima sekuler, yaitu
paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain.
Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari
kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan
eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi
manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik.
Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik
secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal),
epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan
aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Paradigma
ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan
keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan
standar kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang
berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan.
Contohnya, menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti
halnya meja dengan empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat
berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil
pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan:
“Kemudian daripada itu,
aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru angin bumi dan
mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di
darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau
konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu
harus dikalahkan oleh teks Bible (Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal, www.insistnet.com)
Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka, agar tidak problematis,
ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain dan
tidak boleh saling intervensi.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu
paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama
sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun
dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara
total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas,
tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara
sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi
perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma
sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada
(in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma
tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan
memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama
menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme
yang kejam. Karl Marx mengatakan:
“Religion is the sigh of the
oppressed creature, the heart of the heartless world, just as it is the
spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.”
(Agama
adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak
berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa
ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl Marx,
Contribution to The Critique of Hegel’s Philosophy of Right, termuat
dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166).
Berdasarkan
paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme
Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis
adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang
terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui
pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung
benih perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000: 110).
Ketiga,
paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar
dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam
al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran
dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini
memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan
Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari
ayat yang pertama kali turun (artinya) :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. sl-‘Alaq [96]: 1).
Ayat
ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak
boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi
rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas
Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81).
Paradigma Islam ini
menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada
pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada
ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal,
1994: 117). Firman Allah SWT:
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 126).
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. ath-Thalaq [65]: 12).
Itulah
paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan Aqidah
Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas
ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu
setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi
berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa
ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan
dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana
matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw
segera menjelaskan:
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak
terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya
termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan
hamba-hamba-Nya…” [HR. al-Bukhari dan an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996:
10).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan
Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan,
bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak
ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah
muslim yang tertera dalam al-Qur`an:
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.”
(Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan
Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma
inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi
sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari
paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia
Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin
Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780)
sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli
astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran,
ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek
Dunia Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj,
1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan
Shoelhi, 2003).
Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah
peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus
dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma
Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw.
Paradigma
Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini.
Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak,
kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor
Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk
dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah
yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti
orang Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta
tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan
pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan
keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan
sekaligus bertolak belakang dengan Aqidah Islam.
Kekeliruan
paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan fundamental
dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang ada
saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam
(bukan paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan
ilmu pengetahuan manusia.
Namun di sini perlu dipahami dengan
seksama, bahwa ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan
berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-Qur`an dan
al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi
benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh
bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12).
Jika kita
menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti bahwa ilmu
astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada
ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang
cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang
meliputi segala sesuatu (lihat Qs. an-Nisaa` [4]:126 dan Qs. ath-Thalaq
[65]: 12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau
hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan
bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh [71]: 16),
bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan
galaksi-galaksi tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs.
Fushshilat [41]: 11-12), dan seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam
al-Qur`an yang semacam ini (Lihat Al-Baghdadi, 2005: 113). Ayat-ayat ini
menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu,
dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep
iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu.
Jadi, yang
dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah bahwa
konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang
dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits.
Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan
bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang
dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak
boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep
iptek bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu
berarti harus ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa
manusia adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan
tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih
kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti, manusia
sekarang bukan keturunan manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari
evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT
yang menegaskan, Adam AS adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh
manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk
lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah
SWT:
“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah,
kemudian Dia menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina
(mani).” (Qs. as-Sajdah [32]: 7).
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal.” (Qs. al-Hujuraat [49]: 13).
Implikasi lain dari
prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan
bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari
sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw menerapkan
penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu
berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw
juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik
persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli
Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi
dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang
beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan
syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.
Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek
Peran
kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus
dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum
syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek,
bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang
telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh
dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.
Keharusan
tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang
mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan
iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman
Allah:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).
“Ikutilah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya…[i/]” (Qs. al-A’raaf [7]: 3).
Sabda Rasulullah Saw:
“[i]Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim].
Kontras
dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga
negeri-negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi
buta. Standar pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah
itu dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu
bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap
benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran
agama.
Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan,
mengapa orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak
berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya
menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa,
memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan
embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia
bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam
secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan
seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah
itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang
bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi
manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu
adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara
praktis dan konkret adalah syariah Islam.
Penutup
Dari
uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam
perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah
Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma
Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat
Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan
syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah,
bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan
tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek.
Jika dua peran
ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada
berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat
manusia. Mari kita simak firman-Nya:
“Kalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(Qs. al-A’raaf [7]: 96).
Wallahu a’lam.
Download artikel : disini
0 comments:
Posting Komentar